KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

HIROKAZU KANAZAWA – SEBUAH BIOGRAFI (3)


Kanazawa menjelaskan bahwa budaya senioritas sangat dijunjung tinggi di Jepang. Saat itu melakukan jiyu kumite dengan murid yang lebih senior terbilang sulit. Namun darah muda Kanazawa yang ingin mencari lawan yang lebih tangguh agaknya sulit dibendung.

Suatu ketika seorang judoka bernama Yanase datang ke dojo Takushoku. Kanazawa tidak begitu mengenal siapa Yanase, namun dia tahu benar pria itu memegang peringkat yondan di judo. Siapapun yang pernah kumite dengannya sudah pernah merasakan bantingannya yang menyakitkan. Kanazawa yang penasaran lalu berniat mencoba kekuatan Yanase.

“Oh, maafkan aku!” seru Kanazawa saat melihat pukulannya berhasil mengenai Yanase. Namun Yanase terlihat tenang dan mempersilakan Kanazawa melanjutkan serangannya. Berikutnya dia mendekati Kanazawa dan segera menangkapnya. Kanazawapun berteriak, “maafkan aku! maafkan aku!” dan bang!!! Yanase berhasil membantingnya dengan keras. Setelah tiga kali bergantian melakukan serangan, Yanase berkata, “Baiklah, Kanazawa, hari ini sudah cukup.”

Awal tahun 1950-an Jepang masih berusaha bangkit dari keterpurukannya pasca Perang Dunia II. Begitu pula dengan karate yang sempat terhenti akibat dilarang tentara sekutu. Meski di luar karate terlihat sepi, namun sebenarnya dojo karate di bawah Funakoshi tengah menghadapi masalah serius. Hal itu karena ada perseteruan antar pengikutnya.

Kelompok pertama adalah Shotokan JKA yang berada di bawah Masatoshi Nakayama, sedang yang lain adalah Shotokai yang berada di bawah Shigeru Egami. Perseteruan makin memanas setelah Shotokai menilai Shotokan JKA melanggar larangan Funakoshi dengan melakukan jiyu kumite. Tahun 1956 Egami menyatukan seluruh pengikutnya yang dianggal masih “loyal” dengan Funakoshi. Di tahun itu pula mereka mendirikan sebuah organisasi bernama Nihon Karate-do Shotokai (NKS).

Kanazawa sendiri tidak mempunyai banyak memori tentang Shigeru Egami. “Ya, sepertinya dia berada di dunia yang lain. Dia sangat dekat dengan Tuhan. Saat dia bicara atau melakukan karate, dia sangat berbeda dengan kami. Kami menjadi berpikir apakah ini Shotokan? Rasanya terlihat begitu berbeda.”

Yang jelas puncak perpecahan antara Shotokan JKA dan NKS terlihat jelas setelah Funakoshi meninggal tahun 1957. Selang beberapa bulan kemudian diadakan sebuah kompetisi karate bertajuk All Japan Karate Tournament. Acara itu praktis menjadi semacam pencerahan dalam dunia karate. Sekaligus awal ditandainya evolusi baru karate dari bela diri menjadi kompetisi.

Kanazawa yang memang antusias dengan pertandingan itu sudah mempersiapkannya sejak jauh-jauh hari.

“Ya, selama dua bulan aku tidak berlatih bersama rekan-rekanku, karena tentu saja merekalah yang menjadi lawanku besok. Karena itu aku berlatih sendiri dan diam-diam mengunjungi dojo atau bahkan aliran lain. Ada banyak dojo di Tokyo. Kadang aku pergi ke dojo universitas bergaya Shito-ryu. Namun aku tetap mengutamakan ke Universitas Takushoku untuk kumite dengan murid yang lain.”

Akibat latihan yang terlalu banyak (dan bersemangat), membuat Kanazawa nyaris harus mengubur niatnya mengikuti turnamen itu.

“Empat hari sebelum kompetisi aku berlatih di dojo. Tentu saja aku melakukan latihan yang umum, mungkin sekitar satu setengah hingga dua jam. Lalu di akhir latihan, aku mengerjakan kumite dengan tujuh murid. Mereka sangat bagus untuk latihan sebelum kompetisi.

Setelah selesai akupun mengucapkan terima kasih. Namun seniorku bertanya, “Kanazawa! Apa kau sudah selesai?” Akupun menjawab, “Ya.” Diapun berkata lagi, ”Tidak, kau belum selesai, kau harus melakukan lagi!” Karena itulah aku lalu kumite dengan enam murid lainnya. Sayangnya di pertarungan terakhir lenganku patah.”

Melihat lengan kanan Kanazawa yang patah, para instruktur di JKA lalu melarangnya berkompetisi. Dua hari kemudian ibu Kanazawa datang ke Tokyo demi melihat anaknya berlaga. Dengan sangat menyesal Kanazawa berkata pada ibunya, “Aku tidak bisa bertanding karena lengan kananku patah.”

Ibunya menjawab, “Ohh, dalam karate kau hanya memakai tangan kanan?”

“Tidak, tidak, karate juga menggunakan tangan kiri dan begitu juga kedua kaki.” jawab Kanazawa.

“Kalau begitu mengapa kau tidak bisa bertanding hanya karena lengan kananmu yang patah?” tanya ibunya lagi.

“Sebab senior di JKA berkata begitu.” ungkap Kanazawa.

“Aku tetap tidak mengerti. Pergilah tanyakan pada JKA mengapa kau tidak boleh bertanding. Kau masih mempunyai lengan kiri dan kedua kaki. Hanya satu tanganmu saja yang patah.” Ibu Kanazawa terus mendorong anaknya.

Melihat ibunya yang terus memberinya semangat, membuat Kanazawa tidak ingin mengecewakannya. Dia lalu pergi ke sebuah klinik kesehatan yang didirikan kakak kelasnya saat SMU yang kini menjadi dokter. Beruntung, kakak kelas Kanazawa berbaik hati dengan menuliskan surat rekomendasi pada JKA. Tidak hanya itu, dia juga menemani Kanazawa bertemu Nakayama dan Tagaki (admin: Masatomo Tagaki adalah sekretaris JKA). Dia menjamin kesehatan Kanazawa dan akan menemaninya selama mengikuti kompetisi. Begitulah, Nakayama dan Tagaki akhirnya menyetujui permintaan itu.

Kanazawa berkata, “Sebelumnya aku tidak pernah berdoa pada Tuhan. Tentu saja aku percaya pada Tuhan, namun tidak pernah meminta bantuan-Nya. Hanya kali ini aku berdoa, “Tuhan ijinkan aku menang meski hanya satu pertarungan, agar bisa kutunjukkan pada ibuku.” Bersambung (Indoshotokan).