KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

INSPIRASI SANG JUARA – ANTONIO DIAZ (1)

Di era dimana sport karate begitu digemari seperti sekarang, nama Antonio Diaz masuk dalam daftar selebritinya. Koleksi gelar juara Eropa, Amerika dan bahkan dunia yang terlalu banyak untuk ditulis disini sudah cukup membuktikan Diaz sebagai “top competitor.” Walaupun namanya sudah terkenal, Diaz tetap tampil rendah hati, sopan dan banyak tersenyum. Dia tidak segan melayani permintaan anak-anak muda yang sekedar ingin berfoto, tanda tangan atau bahkan meminta saran dan nasihat dalam karate.

Antonio Jose Diaz Fernandez lahir tanggal 12 Juni 1980 di Caracas, ibu kota Venezuela. Perkenalannya dengan karate sudah dimulai sejak usia dini yaitu 5 tahun. Diaz mempunyai latar belakang dan akar tradisi karate yang kuat karena ayah dan ibunya berprofesi serupa. Setiap pulang bekerja ayahnya menyempatkan diri berlatih karate dan Diaz selalu mengamatinya. Awalnya ayah Diaz tidak berniat mengajari anaknya karate. Namun ketika melihat sang anak meniru-niru gerakan karatenya, ayahnya lalu beinisiatif mengajarinya.

“Pada mulanya ayah hanya mengajariku bagaimana memukul dan menendang. Lalu dia mengajakku ke sebuah dojo yang beraliran Shotokan. Dengan begitu karate pertamaku sebenarnya adalah aliran Shotokan. Aku berlatih kira-kira hanya 5 bulan hingga Sensei-ku pindah. Teman-temanku lalu pergi ke dojo yang berbeda dan itu adalah dojo beraliran Shito-ryu.”

Di tahun 80-an karate di Venezuela sudah terbilang cukup mapan karena mendapat tempat di masyarakatnya. Saat itu ada tiga aliran yang sangat populer: Shito-ryu, Shotokan (keduanya sebagai yang terbesar) dan diikuti Goju-ryu. Namun begitu, Venezuela belum banyak berbicara dalam kompetisi level dunia. Barulah di tahun 2000 dan selanjutnya negara yang terletak di ujung utara Amerika Selatan ini mulai menampakkan kekuatannya. Ini tidak lepas dari keberhasilan Antonio Diaz dan Yohana Sanchez yang meraih gelar juara dunia.

Dan begitulah, tahun 1986 Diaz mulai bergabung dengan Shito-Kai yang dikepalai oleh Shoko Sato (saat ini pemimpin WSKF untuk wilayah Pan Amerika). Beberapa tahun kemudian Sato harus meninggalkan Venezuela, dan rekannya yang bernama Javier Mantilla lalu membuka dojo sendiri. Diaz lalu mengikuti Mantilla dan mendapatkan latihan yang intens terutama dalam dasar dan kata. Lewat Matilla pula Diaz akhirnya lebih banyak fokus dalam turnamen karate (terutama kata perorangan) di kemudian hari.

Dunia kompetisi karate dijajaki Diaz ketika usianya baru 9 tahun. Di masa anak-anak tubuh Diaz lumayan gemuk dan hal itu membuatnya tidak cukup lincah. Walaupun beberapa kali mengikuti kompetisi hasilnya tidak memuaskan karena Diaz tidak pernah menang.

“Ketika masih kecil aku sedikit gemuk dan tidak begitu atletis seperti anak-anak pada umumnya. Jika melihatku saat itu kau tidak akan berpikir, “Wow anak ini sungguh hebat!” Bahkan ibuku juga tidak pernah berkata demikian. Ketika kami pergi ke sebuah turnamen dan aku mendapat hasil buruk, dia akan berkata pada ayahku, “Sepertinya anak ini tidak berbakat di bidang ini.”

Hanya sedikit orang yang tahu jika di masa lalunya Diaz ternyata pernah berlaga dalam kumite. Hasilnya tidak begitu mengecewakan, karena Diaz yang waktu itu masih remaja berhasil meraih posisi ketiga kelas kadet di Pan American Championships. Raihan itu membuatnya lebih termotivasi untuk menambah jam terbangnya dalam kompetisi profesional. Meski begitu, anehnya Diaz tidak ingin melanjutkan keberhasilannya dalam kumite dan lebih memilih kata perorangan.

“Aku ingat ketika pertama kali berlaga di Eropa adalah ketika Paris Open. Disana aku berdiri bersama orang terkenal seperti Michael Milon (admin: atlet asal Perancis spesialis kata yang berhasil meraih 3 kali juara dunia & 10 kali juara Eropa) yang sebelumnya hanya kulihat lewat video. Benar-benar sebuah perasaan yang luar biasa. Disana aku berhasil meraih perunggu.”

Secara pribadi Diaz mengakui bahwa Milon adalah orang yang inspiratif baginya. Atlet beraliran Shotokan ini menjadi lawan yang ditakuti banyak kompetitor sejak tahun 1987 hingga 2000. Gerakannya terkenal bersih, cepat dan bertenaga. Setelah pensiun sebagai atlet, Milon menjadi pelatih tim nasional Perancis di tahun 2001. Mimpinya sebagai aktor dapat tercapai karena dikontrak membintangi sebuah film. Sayangnya Diaz tidak mampu lagi melihat aksi idolanya itu karena tanggal 13 Maret 2002 hidup Milon berakhir akibat overdosis kokain.

“Di video kulihat kompetisi dunia tahun 1992. Saat itu wakil Jepang tidak berhasil menjadi juara karena untuk pertama kalinya dikalahkan Spanyol. Berikutnya kulihat Milon dan aku begitu terkesan. Dia benar-benar merasakan dan sungguh masuk dalam gerakannya. Dengan melihat video dapat memberiku gambaran. Aku yakin suatu hari nanti akan pergi kesana.”


IMPRESI TERHADAP VALDESI

Banyak orang yang mensejajarkan Diaz dengan juara dunia lain yaitu Luca Valdesi dari Italia. Tidak heran karena hingga artikel ini ditulis (2012) persaingan mereka sangatlah ketat. Dari 18 kali pertemuan, Valdesi berhasil menang 10 kali sementara Diaz sisanya. Bagi Diaz sosok Valdesi adalah lebih dari sekedar atlet hebat. Dia mengakui bahwa hadirnya Valdesi telah membuatnya terpacu untuk berusaha lebih maksimal. Walau begitu, Diaz berusaha untuk tidak gegabah membandingkan diri dengan orang lain yang menurutnya lebih baik.

“Dia (Valdesi) benar-benar atlet yang tangguh karena begitu cepat dan eksplosif. Kurasa dia telah mencapai level teratas. Namun begitu, aku jelas akan berbuat kesalahan jika hanya memikirkan satu orang. Karena siapapun bepeluang untuk naik keatas. Namun sangat bahagia rasanya jika mempunyai pikiran, “aku harus berusaha lebih keras.” Hal yang sama kupikirkan terhadap Luca. Bagiku sangatlah sulit untuk dapat menyamai kekuatannya. Itu bukanlah tujuanku. Kupikir aku cukup memfokuskan diri pada hal lain seperti teknik dan kecepatan. Aku akan mencoba hal berbeda yang bisa membedakanku dengannya.” (bersambung - Indoshotokan)