KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

GICHIN FUNAKOSHI – LEBIH DEKAT DENGAN SANG MAESTRO (2)

Rambut ikat memang mempunyai arti yang istimewa. Saat Pemerintah Meiji berusaha menghapuskannya, sontak memicu kehebohan yang luar biasa. Bagi masyarakat Okinawa ini adalah keputusan paling gila dalam sejarah. Tentu saja, protes ini umumnya berasal dari kelompok bangsawan yang jelas-jelas akan kehilangan hak khusus mereka. Sebaliknya, masyarakat biasa justru mendukung kebijakan penghapusan tersebut.

Apapun alasannya, Funakoshi sudah gagal ujian. Namun dia tidak berkecil hati dan berusaha mencari jalan yang lain. Berbekal pelajaran filsafat Cina klasik dari kakeknya, Funakoshi berhasil diterima di sebuah sekolah dasar. Usianya ketika itu baru 20 tahun dan sebagai permulaan dia menjadi asisten guru.

Di tengah ramainya kontroversi akan rambut ikat, Funakoshi lalu memutuskan memangkas rambut ikatnya sendiri. Di luar kebutuhannya akan pekerjaan, Funakoshi sadar jika Okinawa saat ini membutuhkan perubahan. Sebuah perubahan jelas butuh pengorbanan dan keberanian. Bagi Funakoshi perubahan ini akan menjembatani Jepang menuju era yang lebih baik.

Funakoshi pulang ke rumah dan berniat memberitahu kedua orang tuanya tentang pekerjaan barunya. Bukannya gembira, ayah dan ibunya justru marah bukan kepalang melihat perubahan pada rambut anak mereka.

“Ayahku tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Apa yang sudah kau lakukan? Kau anak samurai!” Ayahku benar-benar marah. Ibu bahkan jauh lebih marah darinya dan menolak bicara denganku. Dia lalu pergi ke rumah orang tuanya lewat pintu belakang. Aku bisa membayangkan keributan konyol seperti ini pasti juga dialami banyak anak muda yang lainnya.” 

Sambutan yang tidak menggembirakan itu membuat Funakoshi terdiam. Meski tidak mampu berbuat banyak, dia tidak menyesal karena yakin tidak sendirian. Anak muda Okinawa lainnya yang ingin maju pasti mengalami masalah serupa. Funakoshi memantapkan hatinya menjalani pekerjaan sebagai seorang guru. Sebuah pekerjaan yang kelak ditekuni hingga tiga puluh tahun berikutnya.


MASA BEKERJA SEBAGAI SEORANG GURU

Saat itu guru di Okinawa dibedakan menjadi empat kelompok: yaitu yang mengajar di tingkat pertama, kedua, yang bertanggung jawab pada pelatihan khusus dan yang terbawah adalah asisten.

Tidak lama setelah bekerja sebagai asisten guru Funakoshi kemudian menikah. Mereka lalu tinggal di rumah orang tua istrinya. Istri Funakoshi (tidak pernah disebutkan namanya) juga pandai karate. Demi membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup, di siang hari dia bekerja di ladang, sedangkan malam harinya dia bekerja di pabrik tenun. Dalam buku Karate-do Nyumon Funakoshi juga menyebutkan jika istrinya adalah seorang mediator yang pandai.    

Beberapa waktu kemudian Funakoshi lulus ujian sebagai guru di tingkat paling dasar. Dia lalu dipindahkan ke Naha yang merupakan kota pelabuhan yang ramai. Karirnya terus meningkat hingga dipekerjakan sebagai guru di tingkat yang lebih tinggi. Namun demikian promosi guru menjadi lebih sulit karena persaingan kian ketat. Ini karena makin banyaknya lulusan yang masuk ke sekolah-sekolah di Okinawa.

Kepala sekolah lalu menyarankan Funakoshi agar bertugas di tempat lain. Tentunya dengan jabatan yang lebih tinggi sebagai kepala sekolah. Funakoshi menolaknya karena itu berarti dia akan berada di pulau yang terpencil. Mustahil baginya berlatih karate karena jauh dari gurunya yaitu Azato dan Itosu. 


MASA LATIHAN YANG MELELAHKAN

Di sela kesibukannya sebagai seorang guru, Funakoshi rajin mengunjungi rumah Azato. Karena di siang hari harus mengajar, maka latihan di rumah Azato selalu dilakukan malam hari. Biarpun sudah sangat berumur, Azato tidak pernah mengendurkan latihan untuk Funakoshi. Metode latihannya berat dan melelahkan. Dengan hanya ditemani sebuah lentera, dia terlihat serius mengamati setiap gerakan Funakoshi.

Azato selalu meminta Funakoshi mengulang gerakan kata miliknya berkali-kali. Sepintas hal itu sangat membosankan. Namun sebelum Azato benar-benar puas, Funakoshi tidak pernah berani memintanya mengajari gerakan kata yang baru.

“Setelah mengerjakan sebuah kata, aku akan menunggu keputusannya. Dia selalu berkata singkat. Jika tidak puas dengan gerakanku, dia akan berkata, “kerjakan lagi” atau, “sedikit lagi.” Begitu seringnya ulangi lagi, ulangi lagi dan ulangi lagi membuat keringatku mengucur deras dan nyaris membuat tubuhku roboh.”

“Mengerjakan kata berulang kali adalah cara Azato memberitahuku bahwa masih ada yang harus dipelajari. Jika merasa sudah puas, dia akan berkata singkat, “bagus!” Satu pujian itu adalah yang terbaik darinya. Sebelum bisa mendengar pujian itu aku tidak pernah berani memintanya mengajariku kata yang baru.”

Latihan biasanya berakhir sesaat sebelum fajar. Azato yang tadinya tegas akan berubah menjadi orang tua yang ramah. Mirip seperti seorang bapak pada anaknya. Dia akan menjelaskan esensi dari karate atau kadang bertanya tentang kehidupan Funakoshi sebagai guru.

Tidak berbeda dengan Azato, Funakoshi juga harus menjalani latihan yang berat dibawah Itosu. Bagaimana bentuk dan kapan latihan itu sayangnya tidak pernah ditulis Funakoshi dalam bukunya. Yang jelas, Funakoshi harus mengulang kelima kata Heian dan tiga kata Tekki sekitar sepuluh tahun lamanya. Hal itu tidak mengherankankan karena Itosu memegang prinsip “hito kata sannen” atau satu kata dikerjakan tiga tahun. (bersambung – Indoshotokan)