KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

REVIEW J-MOVIE: MAJO NO TAKKYUBIN

Dunia fantasi dan sihir memang cocok diangkat ke layar kaca. Jika Hollywood punya serial Harry Potter yang fenomenal, maka negeri sakura juga punya penyihir. Memang tidak seheboh film dari novel karangan penulis Inggris J. K. Rowling itu. Tapi film Jepang yang satu ini juga berdasarkan novel yang juga laris baik di Jepang dan luar negeri. Dengan genre seishun eiga (remaja), film ini cocok bagi penonton yang ingin mencari cerita yang ringan dan menghibur.

Majo no Takkyubin berarti “Layanan Antar Penyihir”, tapi di barat lebih populer disebut dengan “Kiki’s Delivery Service”. Mulanya Majo no Takkyubin adalah sebuah novel fantasi anak-anak karya Eiko Kadono. Novelnya sendiri berjumlah enam volume yang terbit tahun 1985-2009 dan telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris, Korea, Cina, Italia dan Swedia. Popularitas novel ini membuat Studio Ghibli membuatkan seri animenya di tahun 1989. Sama dengan novelnya, animenya disukai banyak penonton dan menuai pujian. Walaupun sudah lawas, hingga kini serial animenya masih diputar di banyak stasiun TV Amerika dan Eropa.  


Bulan Maret 2014 lalu giliran live action-nya yang siap menyapa para penggemar. Sutradara movie ini adalah Takashi Shimizu yang sebelumnya terkenal berkat film horor Ju-on. Kisah dalam versi movie ini mengambil dari novel volume pertama dan kedua. Sebagai Kiki sang penyihir adalah aktris pendatang baru Koshiba Fuka yang lolos audisi dari 500 kandidat. Koshiba tepat berusia 16 tahun saat syuting film itu. Majo no Takkyubin juga menjadi debut pertamanya dalam dunia akting sekaligus sebagai peran utama. 

Kiki adalah gadis penyihir yang tinggal di sebuah desa bersama ibunya yang seorang tabib. Dalam tradisi keluarganya jika seorang penyihir sudah berumur 13 tahun maka dia harus meninggalkan rumah selama setahun untuk hidup mandiri. Di malam hari setelah pamit pada keluarga dan teman-temannya, Kiki berangkat bersama Jiji, kucing hitam kesayangannya yang bisa berbicara. Dengan menaiki sapu terbangnya Kiki menuju ke sebuah kota kecil di pesisir pantai. Setelah sedikit kesulitan akhirnya Kiki bertemu dengan Osono, pemilik toko roti yang mau menampungnya.


Sebelum bertemu Kiki, toko roti Osono selalu sepi pelanggan. Berkat kemampuan terbang Kiki dengan sapu terbangnya, Osono bisa mengantar pesanan ke banyak pembeli dengan mudah. Bisnis menjadi lancar dan pelanggan menyukainya karena mereka tidak perlu repot-repot pergi ke toko. Di tengah kesibukannya itu Kiki didatangi oleh Tombo, anak laki-laki di kota itu yang tergila-gila dengan dunia penerbangan. Tombo tertarik dengan Kiki setelah melihatnya naik sapu terbang.

Walaupun usil dan selalu mengejar Kiki, Tombo sebenarnya adalah anak yang baik. Selain kagum pada kemampuan Kiki dia sebenarnya juga menyukainya. Tapi teman-teman Tombo yang nakal membuat Kiki harus kehilangan kemampuan terbangnya. Tidak hanya itu, karena para penduduk kota memandang Kiki bukan anak yang normal. Mereka menganggap Kiki akan membawa masalah bagi anak-anak di kota itu. Kehilangan kekuatan dan dimusuhi banyak orang, bisakah Kiki keluar dari kesulitannya?


Berbeda dengan film live action yang biasanya kaya akan animasi CGI, Majo no Takkyubin justru sebaliknya. CGI memang digunakan namun sedikit sekali. Menurut Shimizu sang sutradara, yang paling menarik dari film ini adalah seorang gadis biasa yang bisa terbang. Kiki memang seorang penyihir tapi tidak bisa menyihir seperti penyihir pada umumnya. “Inilah hal baru bagi penonton di luar negeri.” Begitulah menurutnya.

Sementara itu Koshiba Fuka mengaku berperan sebagai Kiki adalah pengalaman baru baginya. “Ketika diberitahu lulus audisi, pikiranku tiba-tiba kosong dan aku menangis karena gembira. Kiki yang aku perankan berbeda dengan yang penonton bayangkan. Mungkin aku tidak pandai berekspresi, tapi aku akan berusaha yang terbaik memerankannya. Aku akan berusaha tidak mengecewakan penonton dan menghargai mereka yang telah mencintai Majo no Takkyubin.” (Indoshotokan)