Harus kuakui jika aku pernah melupakan peraturan yang tidak seharusnya dilanggar. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Pasifik.
Berumur sekitar delapan puluh tahunan saat itu, aku lebih aktif daripada yang sekarang, dan suatu hari aku pergi ke sebuah pesta membaca sajak di Tamagawa. Disana juga menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk minum (untuk mendukung perayaan). Pesta itu berakhir larut malam, dan aku berhasil mengejar kereta pulang ke Tokyo tepat pada waktunya.
Saat itu Jepang masih dalam keadaan yang kacau sesudah perang, dan orang-orang telah diperingatkan akan bahayanya berjalan sendiri di malam hari. Tapi aku yakin tidak ada seorangpun yang mau mengganggu orang tua sepertiku. Karena itulah setelah turun dari kereta di Stasiun Otsuka aku langsung pulang ke rumah. Sebagian dari Tokyo telah hancur dan sepi. Sementara rumahku yang untungnya lolos dari serangan bom, jaraknya masih cukup jauh.
Hujan mulai turun, karena itu kutarik kerah mantelku, membuka payung dan mulai berjalan. Peristiwa yang ingin kuceritakan terjadi di sebuah tempat antara Otsuka dan Hikawashita. Kejadian itu bermula setelah seseorang yang berpakaian hitam tiba-tiba keluar dari balik sebuah tiang telepon. “Hei, Kakek!” dia berteriak sambil maju mendorong payungku.
Berpikir jika dia harus diajak berkenalan atau dihadapi dengan ramah, aku mundur dengan sopan sambil kubuka topiku dan membungkuk padanya. Tampaknya hal ini membuatnya heran. Kemudian, setelah hening beberapa saat, dia berkata dalam suara yang terdengar ragu-ragu, “Punya sebatang rokok, Kakek?” Sekarang aku baru sadar jika dia adalah seorang pencuri. Tapi aku juga bisa tahu dari nada suaranya dia masih sangat pemula – seorang pendatang baru, atau bisa dibilang mencoba berpura-pura agar terlihat kuat.
“Aku tidak merokok” aku menjawab.
Perlu kujelaskan jika aku tidak pernah membawa tas. Semuanya terbungkus dibalik furoshiki-ku yang berwarna polos gelap (admin: furoshiki adalah buntelan tradisional khas Jepang. Biasanya digunakan untuk bepergian atau membungkus hadiah). Tapi yang kupunya sekarang hanyalah kotak makan siangku yang telah kosong dan beberapa buku.
“Kenapa harus bohong, Kakek? tanya laki-laki itu. “Kau punya beberapa batang rokok dalam furoshiki milikmu.”
“Sudah kukatakan padamu jika aku tidak merokok. Sekarang, bisakah kau ijinkan aku untuk lewat?”
“Lupakan saja!” laki-laki itu berteriak, “Buka furoshiki-mu dan tunjukkan apa isinya!”
“Tidak ada barang didalamnya yang berharga,” aku berkata.
“Itu menurutmu!” Dia langsung menyambar payung dari tanganku dan seolah ingin mencoba memukulku dengan benda itu.
Dia membuka lebar kuda-kudanya. Saat dia mengayunkan payung kearahku, aku merunduk kebawah dan tangan kananku meraih dengan kuat alat vitalnya. Aku yakin, itu sakit dan nyaris tidak tertahankan. Payung itu jatuh ke tanah dan laki-laki itu setelah menangis kesakitan, tampaknya dia pingsan.
Tidak lama setelah itu, seorang polisi patroli muncul di tempat kejadian, dan aku menyerahkan penyerangku untuk ditahan olehnya.
Saat melanjutkan perjalanan, aku baru mengetahui jika laki-laki yang berusaha merampok tadi adalah prajurit veteran yang baru kembali dari garis depan yang jauh. Tidak punya lagi pekerjaan, dia memutuskan untuk merampok aku pada saat itu. Dan aku juga saat itu telah melakukan apa yang sering kularang pada murid-muridku yang masih muda. Aku telah menyerang. Aku tidak merasa begitu bangga pada diriku sendiri. (Indoshotokan)
Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-Do: My Way of Life” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dengan judul aslinya “Violating a Rule”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.
Berumur sekitar delapan puluh tahunan saat itu, aku lebih aktif daripada yang sekarang, dan suatu hari aku pergi ke sebuah pesta membaca sajak di Tamagawa. Disana juga menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk minum (untuk mendukung perayaan). Pesta itu berakhir larut malam, dan aku berhasil mengejar kereta pulang ke Tokyo tepat pada waktunya.
Saat itu Jepang masih dalam keadaan yang kacau sesudah perang, dan orang-orang telah diperingatkan akan bahayanya berjalan sendiri di malam hari. Tapi aku yakin tidak ada seorangpun yang mau mengganggu orang tua sepertiku. Karena itulah setelah turun dari kereta di Stasiun Otsuka aku langsung pulang ke rumah. Sebagian dari Tokyo telah hancur dan sepi. Sementara rumahku yang untungnya lolos dari serangan bom, jaraknya masih cukup jauh.
Hujan mulai turun, karena itu kutarik kerah mantelku, membuka payung dan mulai berjalan. Peristiwa yang ingin kuceritakan terjadi di sebuah tempat antara Otsuka dan Hikawashita. Kejadian itu bermula setelah seseorang yang berpakaian hitam tiba-tiba keluar dari balik sebuah tiang telepon. “Hei, Kakek!” dia berteriak sambil maju mendorong payungku.
Berpikir jika dia harus diajak berkenalan atau dihadapi dengan ramah, aku mundur dengan sopan sambil kubuka topiku dan membungkuk padanya. Tampaknya hal ini membuatnya heran. Kemudian, setelah hening beberapa saat, dia berkata dalam suara yang terdengar ragu-ragu, “Punya sebatang rokok, Kakek?” Sekarang aku baru sadar jika dia adalah seorang pencuri. Tapi aku juga bisa tahu dari nada suaranya dia masih sangat pemula – seorang pendatang baru, atau bisa dibilang mencoba berpura-pura agar terlihat kuat.
“Aku tidak merokok” aku menjawab.
Perlu kujelaskan jika aku tidak pernah membawa tas. Semuanya terbungkus dibalik furoshiki-ku yang berwarna polos gelap (admin: furoshiki adalah buntelan tradisional khas Jepang. Biasanya digunakan untuk bepergian atau membungkus hadiah). Tapi yang kupunya sekarang hanyalah kotak makan siangku yang telah kosong dan beberapa buku.
“Kenapa harus bohong, Kakek? tanya laki-laki itu. “Kau punya beberapa batang rokok dalam furoshiki milikmu.”
“Sudah kukatakan padamu jika aku tidak merokok. Sekarang, bisakah kau ijinkan aku untuk lewat?”
“Lupakan saja!” laki-laki itu berteriak, “Buka furoshiki-mu dan tunjukkan apa isinya!”
“Tidak ada barang didalamnya yang berharga,” aku berkata.
“Itu menurutmu!” Dia langsung menyambar payung dari tanganku dan seolah ingin mencoba memukulku dengan benda itu.
Dia membuka lebar kuda-kudanya. Saat dia mengayunkan payung kearahku, aku merunduk kebawah dan tangan kananku meraih dengan kuat alat vitalnya. Aku yakin, itu sakit dan nyaris tidak tertahankan. Payung itu jatuh ke tanah dan laki-laki itu setelah menangis kesakitan, tampaknya dia pingsan.
Tidak lama setelah itu, seorang polisi patroli muncul di tempat kejadian, dan aku menyerahkan penyerangku untuk ditahan olehnya.
Saat melanjutkan perjalanan, aku baru mengetahui jika laki-laki yang berusaha merampok tadi adalah prajurit veteran yang baru kembali dari garis depan yang jauh. Tidak punya lagi pekerjaan, dia memutuskan untuk merampok aku pada saat itu. Dan aku juga saat itu telah melakukan apa yang sering kularang pada murid-muridku yang masih muda. Aku telah menyerang. Aku tidak merasa begitu bangga pada diriku sendiri. (Indoshotokan)
Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-Do: My Way of Life” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dengan judul aslinya “Violating a Rule”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.