KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

MENANG DENGAN MENGALAH (3)

“Baiklah,” salah satu dari mereka berbicara dengan nada yang sangat tidak sopan, “Jangan cuma berdiri disana saja seolah kau bisu dan tuli. Kau tahu apa yang kami inginkan. Katakanlah sesuatu! Misalnya, ‘Selamat malam, tuan’ dan beritahu kami betapa indahnya hari ini. Jangan buang waktu kami anak kecil, atau kau akan menyesal. Aku bersungguh-sungguh dengan hal itu.”

Semakin mereka marah, aku justru semakin merasa tenang. Melihat cara orang yang berbicara padaku mengepalkan tangannya, aku tahu dia bukanlah orang karate. Sedangkan orang satunya yang memegang tongkat pemukul jelas-jelas seorang amatir.
Aku menjawab pelan, “Apa kalian tidak salah orang. Mengira aku sebagai orang lain? Pasti ada salah paham. Kurasa jika kita membicarakannya...”

“Ah, diam kau, dasar udang kecil! Orang yang membawa pentungan itu geram, “Kau pikir sedang apa kita disini? Melawan dua orang seperti ini, tapi nasihatku untukmu sudah jelas. Tidak usah melawan. Kurasa itu tidak akan bagus untukmu, karena.....”

Orang kedua sekarang mengangkat pentungan berat yang dibawanya dari tadi.

Aku menjawab dengan cepat, “Karena jika aku belum tentu menang, aku tidak akan berkelahi. Aku tahu pasti kalah. Jadi untuk apa aku melawan. Bukankah itu masuk akal?

Setelah mendengar ucapanku itu, keduanya terlihat sedikit tenang. “Baiklah”, kata salah satu dari mereka, “Kelihatannya kau tidak ingin berkelahi. Kalau begitu berikan uangmu.”

“Aku tidak punya uang” Aku menjawab sambil menunjukkan pada mereka kantongku yang kosong.

“Kalau begitu berikan rokok saja!”

“Aku tidak merokok. Yang aku punya sekarang cuma beberapa manju. Kue ini kubawa untuk persembahan di altar rumah orang tua istriku.”
“Ini. Terimalah ini saja.” Aku berkata pada mereka.

“Hanya manju!” Nada suara mereka terdengar meremehkan. “Yah, lebih baik daripada tidak ada sama sekali.”

Seraya mengambil kue itu salah satu dari mereka berkata, “Pergilah segera, udang. Dan hati-hatilah karena jalanan ini berbahaya.” Setelah itu merekapun menghilang di balik pepohonan.

Beberapa hari kemudian aku bertemu dengan Azato dan Itosu, dan ditengah obrolan kuceritakan pada mereka kejadian tempo hari. Yang pertama memujiku adalah Master Itosu yang mengatakan bahwa aku telah bertindak dengan sangat pantas. Dia juga berkata jika waktu yang telah dihabiskannya untuk mengajariku karate tidaklah sia-sia.

Azato tersenyum sambil bertanya padaku, “Tapi, karena kau sudah tidak punya lagi kue manju, apa yang kau persembahkan di altar ayah mertuamu?”

Aku menjawab, “Karena sudah tidak punya apa-apa lagi, aku mempersembahkan sebuah doa yang tulus.”

“Ah, bagus, bagus!” begitu ucapnya. “Benar, selamat! Itulah semangat sejati dari karate. Sekarang kau mulai paham apa artinya.”

Kucoba menahan rasa banggaku. Walaupun kedua master ini tidak pernah memuji setiap kata yang aku kerjakan saat latihan, mereka memujiku sekarang. Dan bercampur dengan rasa bangga menjadi sebuah kegembiraan. (Tamat - Indoshotokan)

Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-Do: My Way of Life” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dengan judul aslinya “Win by Losing”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.