KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

RAHASIA SUKSES ORANG JEPANG (3)

Ketika pertama kali mengurus Kartu Tanda Penduduk, saya ingat betapa capeknya karena harus mengurus dari RT dulu, lalu ke RW terus lanjut ke kelurahan. Di kelurahan saya diberikan opsi mau minta yang cepat atau yang biasa. Berhubung saya belum tahu – maklum sebelumnya waktu buat KTP dibantu orang rumah - “Kalau yang biasa berapa hari, Pak ?”. Petugas kelurahan menjawab, “Paling tujuh sampai sepuluh hari Mas, soalnya kan nunggu proses di kecamatan.”. Langsung terbayang dipikiran saya, busyet lama amat !

Berhubung waktu itu KTP saya hampir habis masa berlakunya dan lagi saya perlu untuk melamar kerja ke instansi pemerintah, langsung saja saya tanya, “Kalau yang cepat berapa hari, Pak ?”.”Kalau yang cepat paling hari ini Mas, nanti siang sudah jadi. Nanti langsung saya ambilkan dari Kecamatan, Mas. Cuman ya ada biaya tambahannya.”

Tanpa pikir panjang (karena memang lagi butuh juga), langsung saja saya memilih pilihan kedua, cara yang cepat. Sambil merogoh selembar uang puluhan ribu dari saku yang langsung saya sodorkan ke petugas kelurahan. “ Wah, apa nggak kurang Mas ?” tanyanya. Kontan saya – sambil setengah menggerutu dalam hati - menambahkan selembar uang bernilai beberapa puluh ribu rupiah.


“Nanti siang bisa diambil disini Mas.” kata si petugas.

Seorang teman yang mendengar cerita itu hanya tertawa saja mendengarnya. “ Ah, kamu kaya baru pindah ke Indonesia saja.”

Yah itulah cerita beberapa tahun silam. Bukan bermaksud menjelek-jelekkan, saya hanya berpikir betapa ruwetnya birokrasi negara kita. Itu baru salah satu saya dipusingkan berurusan dengan birokrasi. Saya yakin (jika dipolling) mayoritas penduduk negara ini juga berpendapat demikian.

Mari kita lihat (lagi-lagi) Jepang yang penduduknya workaholic itu. Disana suasana kantor pelayanan publik dan pemerintah terlihat begitu serius. Mereka terlihat sibuk berseliweran kesana kemari sejak bel jam kerja dimulai sampai jam tutup kantor. Di Jepang umumnya jam kerja dimulai jam 09.00 dan berakhir jam 17.00. Kalau ada karyawan yang masuk tepat jam segitu kontan kepala kantor dan teman kerja pasti akan mengatakan si karyawan tadi tidak ada niat kerja. Umumnya mereka datang jauh sebelum jam kantor dan pulang satu atau dua jam setelah jam kantor. Dan memang jam penuhnya kereta bawah tanah akan padat sekitar pukul 20.00. menunjukkan jam segitu mereka baru pulang kantor.


Tidak ada yang berdiam diri saat jam kerja. Mereka sibuk berlari (yang ini benar-benar lari dalam arti sesungguhnya) melayani masyarakat. Pemandangan petugas yang membungkuk dalam-dalam berkali-kali sambil mengucapkan “gomennasai” (maafkan kami) diiringi dengan senyuman adalah hal lumrah di Jepang, sekalipun jelas kesalahan belum tentu di pihak mereka. 

Bagi mereka kepuasan melayani masyarakat adalah nomor satu. Itu bagi mereka yang terlibat langsung dengan masyarakat. Bagaimana dengan mereka yang tidak bertemu langsung dengan masyarakat ? Setali tiga uang, alias sama saja saja seriusnya. Bukan bermain internet atau game seperti disini, mereka begitu perhatian memandang monitor kotak yang bentuknya tidak berubah itu.

Bagaimana dengan gajinya ? ternyata tidak berlebihan. Gaji mereka sebagai aparat pemerintah sesuai dengan standar upah di Jepang. Namun mereka tetap memiliki kebanggaan sebagai aparat pemerintah, sebagai abdi negara yang melayani masyarakat.

Saya begitu terkejut – juga setelah menyaksikan dari J- Dorama - ternyata di Jepang ruang kerja antara bawahan dan atasan tidak dibuat bersekat seperti disini. Disana seluruh staf satu bagian akan duduk di satu meja melingkar yang umumnya bisa dibongkar pasang agar praktis. Sepertinya ada suatu kesan tidak tertulis yang menyatakan “kita adalah sama”. 

Lalu apakah mereka bisa bersikap tidak sopan pada atasan ? Tidak juga, toh bawahan sudah tahu itu adalah atasannya dan bagaimana mereka harus bersikap pada atasannya. Mereka sudah bersikap saling menghargai tanpa ada aturan tertulis, dan sikap “saya kan bosmu” tidak berlaku disana. Inilah budaya saling menghargai di Jepang. Otomatis mereka yang main game atau baca Koran pasti ketahuan. Sepertinya ini suatu sistem kontrol yang praktis dan benar-benar efisien.

Bagaimana dengan mengurus Kartu Tanda Penduduk dan berbagai dokumen disana ? Ternyata sangat simpel dan memuaskan. Tidak butuh pengantar dari RT, RW, Kelurahan dan tetek bengeknya seperti disini. Disana kita cukup mengisi dokumen tertentu yang dilakukan dengan lisan dan bukan ditulis seperti disini dan pakai distempel segala. Pertanyaannya cukup standar, seperti : Apakah sudah menikah, berapa jumlah keluarga, pekerjaan tetap atau sambilan. Mereka percaya suatu sistem yang baik dan dibangun berlandaskan atas kejujuran akan maju dan lebih efisien.

Kalau anda orang asing yang tidak fasih berbahasa Jepang tidak perlu kuatir karena akan dibantu dengan penerjemah, dan bila terpaksa harus mondar-mandir kesana kemari akan diantar oleh staf mereka tanpa dipungut biaya apapun. Anda bisa datang ke kantor Kecamatan (kuyakusho) atau Kantor Walikota (shiyakusho) setempat untuk urusan ini. Bagi mereka begitu Anda masuk mengurus suatu dokumen atau apapun yang berhubungan dengan birokrasi akan ada (dan harus) ada solusinya.

Pepatah “semua bisa diatur” nya orang Indonesia agaknya tidak berlaku di Jepang. Apalagi “yang mudah dipersulit” dianggap sebagai hal yang tidak pantas. Di sana berlaku “biggest for the small” – terbesar untuk yang kecil – yang maknanya pelayanan terbaik untuk semua warga sekalipun dia tidak mampu.

Saya sering membayangkan jika suatu saat negara kita akan seperti ini. Butuh keberanian memang untuk mencapai suatu modernisasi. Anda ingat keberanian bangsa Jepang melakukan modernisasi dari budaya samurai menuju budaya iptek ? Begitu banyak pemberontakan terjadi dimana-mana (dari golongan samurai), karena terjadi kegoncangan di masyarakat pasti akan terjadi.
Apakah bangsa kita seberani itu ? Ah, seandainya saja. (Indoshotokan)