KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

SEORANG PRIA SEDERHANA

Saat aku masih bekerja sebagai seorang asisten guru di sebuah sekolah di Naha, dalam sehari aku harus berjalan kaki dua setengah mil sebanyak dua kali, karena aku dan istriku tinggal di rumah orang tuanya di Shuri. Suatu hari ada pertemuan guru yang berlangsung cukup lama, karena itulah aku terlambat saat kembali pulang, dan tidak berapa lama hujanpun turun. Akupun memutuskan untuk “menghamburkan” uangku dengan menyewa sebuah jinrikisha (semacam becak seperti di Cina yang ditarik menggunakan tenaga manusia).


Untuk menghabiskan waktu, kubuka sebuah percakapan dengan penarik jinrikisha itu. Dan kutemukan hal yang cukup mengejutkan, bahwa ternyata dia memberikan jawaban yang sangat singkat dari semua pertanyaanku. Biasanya penarik jinrikisha sangat suka diajak bicara seperti layaknya tukang cukur. Lebih jauh, nada bicara dan suara penarik jinriksha ini terdengar sangat sopan, dan bahasanyapun menunjukkan orang yang cukup berpendidikan.

Saat itu di Okinawa saat itu ada dua macam jinrikisha, yaitu hiruguruma (jinrikisha yang berjalan di siang hari) dan yoruguruma (jinrikisha yang berjalan di malam hari). Aku cukup mengetahui bahwa beberapa penarik jinrikisha di malam hari adalah orang baik-baik.

Aku penasaran, mungkinkah laki-laki yang tengah menarikku malam ini menuju ke Shuri adalah seseorang yang kukenal? Jika benar demikian, tentu uangku akan ditolaknya. Namun demikian, masih ada pertanyaan yang ingin kucari jawabannya. Namun itu tidaklah mudah, karena pria itu mengenakan topi yang tepinya cukup lebar, yang membuat wajahnya selalu tersembunyi dariku.

Karena itulah, kubuat rencana dengan berpura-pura yang memungkinkanku dapat mengetahui siapa orang ini. Aku memintanya menghentikan jinrikisha sebentar dengan begitu aku mungkin mendapatkan jawabannya. Ketika dia menurunkan penarik roda ke tanah, aku mendapatkan kesan yang jelas bahwa dia bukanlah penarik jinrikisha biasa. Namun saat aku turun dan mencoba mengintip wajahnya, dengan cepat dia memutar kepalanya. Namun masih ada hal lain yang mengganjal, aku serasa begitu kenal dengan tinggi badan dan tubuhnya yang ramping.

Tidak berapa lama hujan berhenti, dan bulan yang berwarna pucatpun muncul dari balik awan. Setelah rasa lelah kupulihkan, akupun kembali ke jinrikisha sambil mencoba melihat lagi melihat ke wajah laki-laki itu, yang ternyata ditutupinya lagi.

Sedikit kesal dengan kegagalanku, aku mencoba rencana lain yang kuyakini akan berhasil. “Kita sudah menempuh jarak yang cukup jauh, mengapa kita kita tidak berjalan saja sebentar?”

Pria itu setuju, namun aku kembali tidak berhasil, karena dia menolak berjalan disampingku. Dia selalu berjalan tertinggal satu atau dua langkah dibelakangku. Tiba-tiba di sebuah persimpangan jalan aku berbalik arah sambil meraih gagang penarik dari jinrikisha itu, dan dalam waktu yang bersamaan kucoba melihat wajahnya. Namun demikian, secepat apapun aku, pria itu ternyata masih lebih cepat saat dia menarik topinya dalam-dalam.

Benar, begitu cepat, reaksinya membuatku sekarang benar-benar yakin bahwa dia bukanlah penarik jinrikisha biasa. Kenyataannya, aku sangat yakin mengenalnya. Kulepas topiku sambil berkata, “Maafkan jika aku bertanya, tapi bukankah Anda Tuan Sueyoshi?”

Dia tampak terkejut, namun menjawab dengan jelas, “Bukan.”

Kamipun berdiri selama beberapa saat dalam sebuah kebisuan. Aku meraih jinrikisha itu, dia menundukkan pandangannya ke tanah. Wajahnya tersebunyi dibalik topinya yang lebar dan turun hingga kelututnya.

Aku tahu ternyata tidak salah mengenalinya. Dia benar-benar Sueyoshi. Kuraih tangannya sambil membantu menegakkan tubuhnya. Akupun lalu berlutut sambil menyebutkan namaku, dan aku juga memohon maaf padanya atas penasaran dan ketidaksopananku.


Aku sangat mengetahui bahwa dia berasal dari sebuah keluarga golongan atas yang juga merupakan penerus dari pendekar, dan dia juga seniorku dalam karate-do. Lebih jauh, diapun tercatat sebagai ahli seni tongkat dan dikemudian hari mendirikan perguruan bojitsu-nya sendiri.

Namun sekarang ini, tentu saja, dia tengah menarik jinrikisha yang tengah kutumpangi. Berjalan sedikit demi sedikit ke Shuri, kami bercakap-cakap dengan akrab tentang karate dan seni tongkat.

Kemudian, karena sungguh merasa malu akibat telah kuketahui jati dirinya, dia memintaku untuk tidak mengatakan pada siapapun bahwa dia sedang bekerja sebagai penarik jinrikisha. Dia juga berkata padaku bahwa istrinya tengah sakit dan terbaring di tempat tidur. Dan untuk menghidupi istri, diri sendiri, dan membeli obat yang dibutuhkannya, dia bekerja sebagai petani di siang hari dan malamnya menarik jinrikisha.

Bicara masalah nama besar dan keberuntungan, sesungguhnya dia telah memilikinya. Tapi mungkin demi uang dia harus bekerja yang dirasakannya akan merendahkan martabatnya. Apa yang dilakukannya dalam hal ini serupa dengan ungkapan “setiap inci dari seorang samurai”. Dan caranya yang tangkas dalam menarik jinrikisha menunjukkan keahliannya dalam seni bela diri. Meskipun dia meninggal tidak lama setelah aku pindah ke Tokyo, aku tidak pernah lupa menghabiskan sore itu bersamanya. Bagiku dia telah menunjukkan perwujudan dari semangat samurai yang sempurna (Indoshotokan).

Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-do: My Way of Life” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dengan judul aslinya “A Humble Man”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.