KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

MENANG DENGAN MENGALAH (2)

Belum sempat seorangpun menjawab, kami berpapasan dengan sekelompok orang yang kelihatannya sedikit mabuk. Mereka menyanyi dengan gaduhnya ketika melalui tempat itu. Saat cukup dekat dan tahu sedang ada keributan, mereka mulai berteriak gembira karena mungkin bisa menonton perkelahian yang seru. Tapi salah satu dari mereka kemudian mengenali pemimpin kami.

“Anda Master Itosu, bukan? Dia berteriak. “Ini benar Anda, bukan? Tentu saja! Sedang ada masalah apa?” Dia lantas memutar tubuhnya menghadap ke kelompok yang akan menyerang kami.
“Apa kalian sudah gila?” dia berkata.
“Apa kalian tidak tahu siapa orang-orang ini? Itu adalah Itosu, sang master karate bersama murid-muridnya. Bahkan sepuluh atau dua puluh orang dari kalian belum tentu sanggup mengalahkan mereka semua. Sebaiknya kalian minta maaf dan lebih baik lakukanlah sekarang!”

Kenyataannya, tidak ada yang meminta maaf. Tapi untuk sesaat kelompok itu saling bergumam dengan temannya sebelum akhirnya menyingkir dengan tenang di kegelapan malam. Kemudian Itosu memberi perintah lain yang menurut kami agak aneh. Bukannya meneruskan lewat jalan yang seharusnya, dia memerintahkan kami untuk mengulangi perjalanan kembali ke Shuri melewati jalan yang lebih jauh. Sampai kami tiba di rumahnya, dia tidak berkata apapun tentang kejadian yang barusan kami alami. Dia lantas menyuruh kami berjanji untuk membicarakannya.

“Kalian sudah melakukan pekerjaan yang bagus malam ini, anak-anak.” Dia berkata. “Aku tidak ragu lagi kalian sudah menjadi karateka yang hebat. Tapi jangan menceritakan kejadian malam ini pada siapapun! Tidak seorangpun, kalian paham?”

Belakangan aku melihat anggota dari kelompok itu dengan wajah sedikit malu datang ke rumah Itosu untuk meminta maaf. Ternyata orang-orang yang tempo hari kami kira preman dan pencuri itu adalah Sanka – orang yang bekerja menyuling minuman keras Okinawa bernama Awamori. Mereka memang agak ribut, orang-orangnya keras dan kasar, bangga dengan kekuatan fisiknya. Mereka malam itu telah memilih kami sebagai sasaran untuk menguji kehebatan mereka.

Saat itu aku baru tahu betapa pandainya Master Itosu dengan menyuruh kami pulang ke Shuri melewati jalan berbeda demi menghindari pertikaian yang lebih banyak. Aku berpikir tentang arti dari karate. Aku merasa malu saat menyadari tempo hari akan menggunakan kemampuan dan kekuatanku melawan orang-orang yang tidak terlatih.

Kejadian kedua, yang sedikit mirip dengan yang pertama, berakhir dengan lebih memuaskan. Namun begitu, pertama-tama aku ingin menceritakan tentang keluarga istriku. Selama bertahun-tahun mereka telah bereksperimen dengan tanaman kentang manis, mencoba untuk mengubahnya menjadi makanan yang lebih baik. Mereka sebelumnya cukup makmur, tapi datangnya Restorasi Meiji telah membuat masa-masa menjadi sulit. Mereka lalu pindah ke sebuah desa pertanian kecil bernama Mawashi yang jauhnya dua setengah mil dari Naha.

Ayah dari istriku adalah pengikut partai garis keras dan itu membuat tingkah lakunya aneh. Ketika cuaca sedang cerah dia berada di ladang; dan ketika hujan dia berada di rumah sambil membaca; dan hanya itulah yang dikerjakannya.

Istriku sangat sayang pada ayahnya. Pada suatu festival dia pergi lebih awal dengan anak-anak demi mengunjunginya. Sore itu aku pergi meninggalkan desa, karena aku tidak ingin anak dan istriku berjalan sendirian didalam gelap.

Jalanan yang sepi menuju Mawashi harus dilalui menembus hutan cemara yang tebal. Dalam cahaya senja yang sudah memudar, aku dibuat cukup kaget ketika dua laki-laki tiba-tiba melompat dari rerimbunan pohon dan menghalangi jalanku. Seperti penjahat pada umumnya, mereka menutupi wajah dengan handuk. Itu sekaligus sudah menunjukkan bahwa mereka sengaja ingin membuat takut orang lain yang melintas. (Bersambung – Indoshotokan)

Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-Do: My Way of Life” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dengan judul aslinya “Win by Losing”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.