KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

INSPIRASI SANG JUARA – ANTONIO DIAZ (3 - FINAL)

Anehnya, meski sudah lebih dari 10 tahun berkarir sebagai atlet profesional, tidak terlintas dalam benak Diaz untuk membuat merchandise alias barang dagangan. Hal ini kontras dengan kebanyakan figur karate lain yang membuat DVD, buku, website atau apapun untuk mendukung finansial mereka. Dan bicara masalah uang, Diaz yang masih sibuk memberikan seminar di luar negeri ini mengaku tidak ingin menampiknya. Namun demikian dia tidak berharap banyak jika karate akan bisa menafkahinya.

“Yah, kadang-kadang aku memikirkannya (admin: masalah keuangan). Aku mendapat sedikit bantuan finansial dari Kementerian Olah Raga, namun itu tidak dapat digunakan sebagai sumber penghidupan. Sebagai tambahan, aku juga mendapatkan dana dari federasi karate ketika melakukan perjalanan ke luar negeri untuk kompetisi. Aku juga mendapatkan dana sponsor dari Adidas dan DirectTV (saluran TV kabel lokal).”

Latar belakangnya sebagai sarjana komunikasi membuat Diaz ternyata sempat bekerja sebagai jurnalis olah raga. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena keinginannya sebagai atlet profesional membuatnya harus latihan intensif setiap hari. Sebuah pilihan yang sulit dijalani oleh seorang pegawai kantoran. Jika kelak pensiun sebagai atlet dan harus bekerja, maka Diaz ingin menjadi aktor. Dia ingin menampilkan aura yang sama seperti saat dia menampilkan kata. Namun jika hal itu tidak mungkin, Diaz akan memilih profesi marketing.


PERSEPSI MODERN KONTRA TRADISIONAL

Di era dimana WKF terus memperbaiki aturan kompetisi, masih banyak organisasi karate yang bertahan pada prinsip anti turnamen. Sementara tidak keliru, hal itu menimbulkan sebuah persepsi baru dalam dunia karate: tradisional (bela diri) dan modern (kompetisi). Pengikut tradisional melihat karate modern sudah meninggalkan esensi karate. Bukan teknik membela diri (apalagi kesempurnaan karakter) namun hanya sekedar gelar, prestise (kebanggaan) dan hadiah. Bukan omong kosong, karena banyak terjadi orang yang katanya bisa karate namun ketika menghadapi pertarungan yang realistis tekniknya tidak bisa bicara banyak. Ini jarang terjadi pada praktisi karate tradisional karena dibawah sabuk hitampun kebanyakan mereka sudah mampu bertarung.

Argumentasi para tradisionalis ini bisa jadi sindiran bagi kaum modernis. Namun pengikut paham modern juga tidak mau kalah. Mereka berdalih kompetisi juga penting sebagai salah satu jalan untuk melihat kemampuan diri sendiri. Apalagi toh jaman sudah berubah, bukan jamannya samurai lagi. Karena itu jika orang menggunakan karate sebagai media kompetisi olah raga adalah lumrah.

Diaz memandang “perang” dua paham berbeda itu sebagai hal yang tidak perlu dibesar-besarkan. Baginya kompetisi dan bela diri adalah dua hal yang mestinya berjalan bersama. Layaknya barat dan timur yang menuju ke arah yang berbeda, masing-masing mempunyai penekanan. Sehingga yang lebih penting adalah bagaimana orang bisa mengambil manfaat dari keduanya.

“Kadang kau lihat seorang atlet yang hanya melakukan kumite atau belajar berkelahi. Ada juga mereka yang tradisionalis berkata jika kompetisi adalah hal yang buruk. Tentu saja aku tidak sepakat dengan semua itu. Aku juga belajar aspek sejarah, filosofi dan tradisi karate. Semuanya menarik dan akupun menyukainya.”

“Aku tidak menyukai pertentangan antara keduanya (admin: tradisional dan modern). Kupikir kompetisi telah memberikan sumbangan yang baik bagi karate. Misalnya membuatnya dikenal di penjuru dunia. Tanpa kompetisi para tradisionalis mungkin tidak akan memilih karate seperti yang mereka jalani sekarang. Karena itu meski banyak kritikan, kompetisi karate bukanlah hal yang buruk. Tentu saja kau melihat banyak perubahan. Namun sepanjang kau bisa mengambil manfaat dan nilai positif dari keduanya, kupikir itulah yang terbaik.”


TIPS AKHIR SANG JUARA

Sebagai salah satu kompetitor terkuat Diaz melihat banyak perubahan dalam peta persaingan karate dunia. Jika dulu Jepang, Italia dan Perancis banyak mendominasi, maka sekarang negara-negara timur tengah (Iran, Mesir) dan beberapa negara Asia juga kian menunjukkan kelasnya. Khusus pada nomor kata dari tahun ke tahun gaya peserta makin menunjukkan perbedaan yang jelas. Yang dimaksud Diaz adalah negara barat lebih condong pada penampilan, sedangkan negara timur pada kualitas teknik.

“Gaya kata orang Eropa adalah atletik dan lebih pada kekuatan. Gaya Asia lebih “ramah” dengan teknik yang bagus. Kecepatan adalah kelebihanku dan aku akan selalu berusaha konstan. Mengambil hanya yang terbaik dari kedua gaya tersebut dan dipadukan dengan irama kupikir adalah pilihan terbaik.”

Tidak semua orang bisa menjadi juara dunia, dan karena itu Diaz begitu mensyukuri keadaannya saat ini. Bicara masalah kesuksesan, Diaz mengakui tidak ada yang instan. Jika memang ada, itupun biasanya tidak akan bertahan lama. Semakin lama proses yang dijalani seseorang maka semakin lama pula dia bertahan di puncak.

“Jangan pernah menyerah! Jika kau menginginkan sesuatu, maka cobalah dan teruslah konsisten. Pada mulanya aku hanya di posisi ketiga. Berikutnya aku selalu ketiga, ketiga dan ketiga lagi. Kupikir tidak apa-apa dan aku akan terus mencoba. Paling tidak cara ini berhasil untukku…. ..konsisten dan terus konsisten.”

“Selain itu selalu berlatih dengan dedikasi dan keinginan yang kuat. Kau harus menyukai apa yang kau lakukan. Karena jika tidak, hasilnya akan jauh dari memuaskan. Sebagai tambahan, adalah lebih bijak jika seseorang tidak hanya memfokuskan pada medali dan angka. Dengan begitu saat karir atletmu berakhir suatu hari nanti, kau akan tetap menjadi praktisi karate dan orang yang baik.”

Dengan usia yang kian bertambah, Diaz menyadari tidak akan selamanya menjadi atlet kelas dunia. Jika kelak pensiun dan masih berkecimpung dalam karate, Diaz berkeinginan mengembangkan organisasinya di Venezuela (Inoue-ha Shito-ryu Keishinkai). Selain ingin mengembangkan karate di negaranya ke level yang lebih baik, Diaz bercita-cita mengembangkan kompetisi khusus kata saja.

“Karate akan selalu menjadi bagian besar dalam hidupku. Setelah berkompetisi cukup lama dan kelak pensiun, kupikir aku akan tetap berusaha dekat dengan olah raga ini. Dan saat itu aku akan lebih punya banyak waktu untuk belajar yang lain. Sesuatu yang tidak sempat aku lakukan selama berkarir sebagai atlet. Begitu banyak yang ingin kulakukan, namun apapun itu hanya yang terbaik untuk karate.” (tamat - Indoshotokan)