Praktisi karate mana yang tidak pernah mendengar nama Gichin Funakoshi? Benar, dia hanyalah seorang pria sederhana dan rendah hati yang berasal dari pulau terpencil Okinawa. Totalitas dalam karate dan kekuatan karakternya telah menjadikannya legenda. Tidak berlebihan jika Pemerintah Jepang lantas menganugerahinya gelar sebagai Bapak Karate Jepang.
Hingga saat ini sebenarnya ada banyak tulisan yang menceritakan tentang Funakoshi. Sayangnya, tidak satupun yang secara lengkap menjelaskan perjalanan hidupnya. Bahkan di buku Karate-do: My Way of Life yang merupakan otobiografinya Funakoshi tidak bercerita secara utuh.
Untuk pertama kalinya Indoshotokan menuliskan perjalanan hidup dari Gichin Funakoshi dalam format yang lebih lengkap. Seluruh tulisan dalam artikel ini diambil dan diteliti dari banyak sumber. Lewat tulisan ini Indoshotokan berharap pembaca dapat mengenal lebih dalam dan mengambil pelajaran dari sang maestro. Selamat membaca.
AWAL KELAHIRAN
Gichin Funakoshi lahir di Yamakawa, Prefektur Shuri, Okinawa tanggal 10 November 1868. Keluarga Funakoshi masih keturunan dari salah satu bangsawan yang terpelajar di Okinawa. Kakek Funakoshi adalah guru dari anak perempuan kepala desa setempat saat itu. Berkat pekerjaannya itu, kakek Funakoshi dihadiahi sebidang tanah yang cukup luas.
Dengan status sosialnya itu keluarga Funakoshi seharusnya bisa hidup layak. Tapi sayangnya hal itu tidak terjadi. Ini karena Gisu, ayah Funakoshi, adalah seorang pemabuk berat yang gemar menghabiskan harta keluarga.
Funakoshi lahir sebagai anak yang bertubuh lemah. Kedua orang tuanya sadar jika mereka tidak melakukan sesuatu, maka umur Funakoshi tidak akan panjang. Melihat ekonomi keluarga yang tidak menggembirakan, membuat orang tua Funakoshi kemudian menitipkan anak mereka pada kakek dan neneknya.
Funakoshi sangat disayangi oleh kakek dan neneknya. Selain mendapatkan hidup yang lebih baik, Funakoshi juga belajar ilmu filsafat Konfusianis dari kakeknya. Sebuah pelajaran filsafat kuno yang penting untuk anak-anak dari golongan Shizoku. Ilmu yang dipelajari itu memang tidak gampang, namun kelak akan berguna membantu pekerjaan Funakoshi.
Saat itu masyarakat Okinawa terbagi menjadi dua kelas. Yang pertama adalah Shizoku yang sekelas bangsawan dengan beberapa hak khusus. Golongan ini masih dibagi dua, yaitu Udon sebagai yang tertinggi (sama dengan daimyo atau gubernur di Jepang) dan Tonochi yang merupakan keturunan dari pemimpin sebuah desa atau kota.
Kelas kedua setelah Shizoku adalah golongan Heimin yang berasal dari rakyat jelata. Mereka tidak punya hak khusus dan biasanya bekerja sebagai petani dan nelayan. Karena perbedaan yang sangat jauh sering menimbulkan kecemburuan sosial antara kedua kelas tersebut.
PERJUMPAAN DENGAN SANG GURU
Ketika masuk ke sekolah dasar Funakoshi berteman baik dengan anak laki-laki Yasutsune Azato. Tentu saja hal itu bukan kebetulan, karena akan mempengaruhi perjalanan hidup Funakoshi berikutnya. Belakangan atas rekomendasi dokter bernama Tokashiki, Funakoshi dibawa oleh kedua orang tuanya bertemu dengan Azato. Mereka berharap dengan belajar karate pada Azato akan memperbaiki kesehatan Funakoshi.
Yasutsune Azato mempunyai kedudukan penting dan sangat dihormati penduduk Okinawa. Sebagai seorang kepala militer di Okinawa membuatnya disegani bahkan oleh para daimyo di Jepang. Analisis politiknya juga tajam berkat kedekatannya dengan banyak politikus. Tidak berhenti sampai disitu, Azato juga dikenal sebagai sosok terpelajar yang juga pandai banyak ilmu bela diri seperti karate, memanah, ilmu pedang dan menunggang kuda.
Biarpun begitu, Azato tidak gampang menerima murid. Ini karena Azato menganggap bela diri adalah bela diri, bukan untuk olah raga apalagi pertunjukan. Azato akan menurunkan ilmunya hanya pada orang yang dianggapnya tepat. Dan memang dalam sejarah karate manapun tidak pernah tercatat jika Azato punya murid selain Gichin Funakoshi. Diterimanya Funakoshi menjadi murid Azato adalah sebuah keberuntungan dan takdir yang luar biasa.
Seperti orang tua pada umumnya yang kerepotan menyuruh anaknya belajar, maka begitu pula dengan Azato. Pelajaran filsafat Cina memang sulit dan membosankan, wajar jika anak Azato bermalas-malasan. Tapi untunglah ada Funakoshi yang menjadi teman bermainnya di sekolah. Azato mungkin pejabat terkenal, tapi dia tidak sungkan meminta bantuan Funakoshi untuk mengajari anaknya. Permintaan itu disanggupi oleh Funakoshi, apalagi dia juga sudah menganggap Azato seperti ayah kedua baginya.
Sebuah foto latihan karate di depan Istana Shuri sekitar tahun 1937-an dengan instruktur Shinpan Shiraoma (foto dari Wikipedia)
Perkenalan dengan Azato membawa Funakoshi pada keberuntungan yang lain. Dia bertemu dengan guru hebat lainnya yaitu Yasutsune Itosu. Pria tangguh ini menyandang gelar “meijin,” yang berarti tak terkalahkan. Baik Azato dan Itosu adalah sahabat dekat dan sudah terkenal sebagai “pasangan emas” di Okinawa berkat kekuatannya. Namun diluar kesamaan nama depannya, gaya bela diri Azato (Shorei-ryu) berlawanan dengan Itosu (Shorin-ryu).
Ketika Funakoshi masih anak-anak, latihan karate dilarang keras oleh pemerintah. Orang yang berani melanggar akan ditangkap dengan tuduhan melanggar hukum. Begitu ketatnya aturan itu hingga orang membicarakan karate di muka umum saja tidak berani. Akibatnya dojo karate jumlahnya sedikit dan latihan harus dilakukan malam hari dengan sembunyi-sembunyi.
Berlakunya hukum tersebut sebenarnya adalah imbas dari kejadian di masa lalu. Setelah Okinawa dijajah kaum samurai, para penduduk dilarang memegang senjata. Mereka lalu mengembangkan bela diri tangan kosong sebagai alat pertahanan diri. Berpuluh-puluh tahun kemudian setelah kaum samurai hengkang dari Okinawa, aturan seperti itu masih saja dipertahankan.
KEGAGALAN YANG PERTAMA
Memasuki usia remaja, Funakoshi mencoba mengikuti ujian masuk ke sekolah kedokteran di Tokyo. Pemerintah Meiji saat itu menetapkan bahwa hanya mereka yang lahir tahun 1870 dan sesudahnya yang bisa mengikuti ujian. Meski karate sangat berarti baginya, Funakoshi tidak ingin menggunakannya sebagai pekerjaan. Demi mengikuti ujian itu Funakoshi lantas memalsukan catatan kelahirannya. Tapi sayang, dia harus gagal dalam ujian itu.
Kegagalan itu sebenarnya bukan karena nilai Funakoshi tidak cukup. Saat itu laki-laki Okinawa dengan rambut ikat ala samurai dilarang ikut ujian. Bagi masyarakat Okinawa rambut ikat adalah simbol keberanian dan kejantanan. Tapi bagi pemerintah Jepang hal itu adalah simbol feodalisme. Karena Jepang masih dalam masa Restorasi Meiji, maka mereka berusaha menghapuskan segala hal yang dianggap kolot. (bersambung – Indoshotokan).