Setelah seharian diisi dengan mengajar di sekolah dan ditambah latihan karate yang menguras tenaga, Funakoshi meluangkan waktunya mendaki gunung Torao. Gunung yang ditumbuhi banyak pohon cemara ini jika dilihat dari kejauhan seperti ekor harimau. Pada kenyataannya, nama “Torao” memang berarti “ekor harimau.”
Saat duduk melakukan meditasi di sana, Funakoshi merasakan segarnya desir angin di sela-sela daun cemara. Hal itu menumbuhkan inspirasinya dengan membubuhkan stempel bertuliskan “shoto” di akhir syair yang ditulisnya. Arti “shoto” adalah bagaikan pohon cemara yang melambai. Kebiasaan membubuhkan stempel ini sebenarnya ditiru Funakoshi dari Azato yang selalu menuliskan “rinkakusai” di akhir tulisannya.
DEMONSTRASI KARATE YANG PERTAMA
DEMONSTRASI KARATE YANG PERTAMA
Tahun 1901 menjadi tonggak bersejarah dalam dunia karate Okinawa karena berlatih di muka umum sudah tidak dilarang lagi. Peristiwa itu diawali tahun 1902 setelah Shintaro Ogawa, salah satu pejabat pendidikan dari Jepang hadir di Okinawa. Dia hadir untuk menyaksikan demonstrasi karate yang dilakukan oleh Yasutsune Itosu bersama murid-muridnya (termasuk Funakoshi).
Acara itu berjalan sukses. Ogawa agaknya terkesan dengan karate, karena setelah itu dia melayangkan laporan pada Menteri Pendidikan Jepang. Hasilnya karate kemudian dimasukkan sebagai pelajaran wajib di sekolah. Mulanya karate tidak berdiri sendiri karena termasuk dalam pendidikan jasmani.
Sebagai bapak karate Okinawa, Itosu kemudian menjadi instruktur karate yang pertama di sekolah dasar Shuri Jinjo. Dilanjutkan dengan sekolah menengah Dai Ichi dan sekolah umum Okinawa di tahun 1905. Funakoshi juga banyak membantu Itosu sebagai wakil instruktur. Konon untuk mempermudah cara mengajarnya, Itosu memecah kata Kushanku menjadi lima kata Pinan.
Berkat kemampuan mediasi yang baik, seni menulis kaligrafi dan ilmu filsafat Cina, Funakoshi kemudian dipilih sebagai ketua Shobukai (Asosiasi Bela Diri Okinawa). Dengan posisi ini kelak akan membuka jalan bagi Funakoshi sebagai orang yang terpilih untuk mendemonstrasikan karate di Jepang.
Sebuah foto lama halaman depan Istana Shuri sebelum dihancurkan dalam Perang Dunia II. Foto diambil oleh Kamakura Yoshitarou. Sumber foto dari Japanfocus.
Sebuah foto lama halaman depan Istana Shuri sebelum dihancurkan dalam Perang Dunia II. Foto diambil oleh Kamakura Yoshitarou. Sumber foto dari Japanfocus.
Tahun 1912 Admiral Rokuro Yashiro dari angkatan laut Jepang datang ke Okinawa. Kunjungan Yashiro itu juga dipengaruhi surat Itosu tentang Tode Jukun (10 prinsip berlatih karate) untuk Menteri Pendidikan Jepang. Yashiro menyaksikan dari dekat demonstrasi karate yang dilakukan murid-murid Funakoshi di sekolah dasar. Tampaknya dia begitu puas dengan acara itu hingga awak kapalnya diperintahkan untuk belajar karate.
Sejak kunjungan Yashiro, Okinawa banyak disinggahi utusan dari kemiliteran Jepang. Beberapa dari mereka bahkan menetap untuk sementara di asrama-asrama sekolah. Kira-kira selama seminggu mereka belajar karate sebelum kembali ke Jepang.
Tahun 1914 sampai 1915 Funakoshi bersama ahli karate lainnya disibukkan dengan demonstrasi karate di seluruh Okinawa. Upaya ini dilakukan untuk mengikis pendapat masyarakat Okinawa yang masih memandang karate sebagai hal yang tidak boleh dipamerkan. Untuk keperluan itu Funakoshi membentuk kelompok sekitar 25 orang yang diantaranya adalah tokoh karate ternama antara lain: Kenwa Mabuni dan Chotoku Kyan.
KARATE MEMASUKI JEPANG
Impian terbesar Itosu adalah memperkenalkan karate keluar Okinawa agar bisa dipelajari banyak orang. Sayang sekali hal itu tidak terwujud karena tahun 1915 Itosu meninggal dunia. Funakoshi sangat sedih dengan kematian guru kesayangannya itu. Namun demikian dia bertekad untuk meneruskan cita-cita Itosu.
Dua tahun kemudian kesempatan itu tiba. Tahun 1917 Dai Nippon Butokukai di Kyoto mengundang wakil Okinawa untuk turut serta dalam festival bela diri bertajuk “Butoku Sai” yang diadakan di aula Butokuden. Sebagai Asosiasi Bela Diri Jepang, Butokukai adalah pusat berkumpulnya berbagai bela diri Jepang, baik dari gaya lama maupun yang baru. Gichin Funakoshi dan Shinko Matayoshi (ahli kobudo) kemudian dipilih untuk acara itu.
Aula Butokuden saat ini. Tampak beberapa praktisi kendo sedang menempuh ujian tingkat. Foto berasal dari Wikipedia
Beberapa kalangan puas dengan demonstrasi Funakoshi, tapi tidak sedikit pula yang menanggapinya dingin. Hal itu karena orang Jepang lebih berminat dengan bela diri bersenjata khas Jepang seperti kendo dan iaido sebagai penerus gaya samurai. Alasan lain adalah pandangan miring publik Jepang pada wilayah Okinawa. Masyarakat Okinawa yang umumnya petani dan nelayan dianggap tidak sebanding dengan orang Jepang yang lebih maju.
Empat tahun setelah acara itu, Pangeran Hirohito yang dalam perjalanan ke Eropa singgah di dermaga Nakagushiku Okinawa. Kunjungan itu sebenarnya atas saran Norikazu Kanna, pejabat militer Jepang asal Okinawa yang juga ikut dalam lawatan itu. Di balai utama Istana Shuri sang pangeran menyaksikan demonstrasi karate dari Gichin Funakoshi, Chojun Miyagi dan Shinko Matayoshi.
Di luar dugaan, sang pangeran ternyata sangat menikmatinya. Funakoshi mengatakan bahwa selama di Okinawa sang pangeran terpesona dengan tiga hal, yaitu: pemandangan yang indah, aliran naga dari sumber mata air di Istana Shuri, dan yang terakhir karate. Belakangan berita kunjungan itu juga dimuat di banyak surat kabar Jepang. Hal itu membuat publik Jepang yang tidak tahu demonstrasi karate Funakoshi di Kyoto kian penasaran “apa sebenarnya karate itu?” (bersambung – Indoshotokan)