Akhir tahun 1921 Funakoshi mendapat undangan dari Menteri Pendidikan Jepang untuk demonstrasi karate. Acara itu dilakukan di Sekolah Umum Wanita Monbasho pada awal musim panas di bulan Mei tahun 1922. Funakoshi memperagakan berbagai teknik dasar seperti kuda-kuda, gerakan kata, gerakan kaki dan tangan.
Saat demonstrasi berlangsung banyak wartawan yang mengambil foto Funakoshi dari dekat. Setelah acara selesai Funakoshi didekati oleh salah satu anggota keluarga Sho dari dinasti Shotai yang merupakan raja terakhir di Okinawa. Orang yang tidak disebutkan namanya itu menyarankan Funakoshi agar memperpanjang kunjungannya di Jepang. Funakoshi menerima saran itu dan memutuskan tinggal di Jepang selama beberapa minggu.
Demonstrasi karate di Monbasho membuat nama Funakoshi kian terkenal di Jepang. Beritanya bahkan banyak dimuat di surat kabar Jepang. Hal itu membuat Funakoshi didatangi banyak orang yang meminta untuk diajari karate. Biarpun terbilang cukup repot, Funakoshi melakukannya dengan senang hati. Apalagi Funakoshi ingin melihat karate Okinawa dapat sejajar dengan bela diri Jepang seperti judo dan kendo.
Di awal kedatangannya di Jepang Funakoshi berjumpa dengan Shinkin Gima, seorang pemuda berbakat asal Okinawa yang kelak banyak membantu perjuangannya. Gima yang saat itu tengah menempuh pendidikan di Shoka Daigaku (sekarang Universitas Hitotsubashi) pernah belajar karate pada Yabu Kentsu dan Yasutsune Itosu.
Masih di tahun 1922, Jigoro Kano sebagai pendiri Judo tertarik dengan karate setelah membaca tulisan-tulisan Funakoshi. Di luar kesibukannya sebagai instruktur, Funakoshi memang banyak menulis artikel tentang karate di surat kabar. Kano kemudian mengundang Funakoshi ke honbu (dojo utama) miliknya yaitu Kodokan. Funakoshi memenuhi undangan itu dengan ditemani oleh Shinkin Gima.
Acara itu tidak digelar besar-besaran dan hanya disaksikan oleh sekitar seratus orang saja. Funakoshi memperagakan kata favoritnya yaitu Kushanku Dai, sedangkan Shinkin Gima memperagakan kata Naihanchi Shodan. Sebagai pelengkap mereka juga memperagakan beberapa teknik dari kihon kumite.
Kano ternyata puas dengan demonstrasi itu. Dia lalu meminta Funakoshi mengajarinya teknik karate. Tapi ketika mendengar butuh waktu setidaknya setahun untuk belajar, dia lalu hanya meminta diajari teknik dasar.
LAHIRNYA SIMBOL “TORA NO MAKI”
Beberapa waktu kemudian Funakoshi berpikir untuk pulang ke Okinawa. Tapi niat itu harus kembali tertunda setelah seorang pelukis terkenal bernama Hoan Kosugi mendatanginya. Sebelumnya Kosugi pernah ke Okinawa untuk sebuah ekspedisi dan tidak sengaja melihat karate. Sekembalinya ke Tokyo, dia ingin belajar karate namun kesulitan menemukan buku apalagi instruktur.
Funakoshi diminta mengajar karate bagi anggota perkumpulan Tabata. Sebuah klub para pelukis dimana Kosugi adalah ketuanya. Tapi pertemuan dengan Kosugi juga membawa keberuntungan lain untuk Funakoshi. Dari tangan Kosugi simbol harimau “Tora no Maki” berhasil dilukis. Makna dari “Tora no Maki” adalah merujuk pada filsafat Cina kuno yang mengatakan bahwa seekor harimau senantiasa waspada.
Kosugi tidak pernah mengetahui kebiasaan Funakoshi di masa lalu yang kerap mendaki gunung Torao (yang berarti ekor harimau). Sehingga ketika Funakoshi melihat lukisan harimau karya Kosugi dia menganggapnya bukan sebuah kebetulan semata. Dia sangat menghargai hasil karya itu dan berniat membayarnya. Tapi Kosugi menolaknya dan lebih memilih agar Funakoshi mengajarinya karate berikut filosofi mulia didalamnya. Funakoshi merasa terharu dan merekapun menjalin pertemanan baik.
Lukisan original "Tora no Maki" atau "Sang Harimau yang Senantiasa Waspada." Dua tanda mirip bintang di dekat ekor adalah tanda tangan Hoan Kosugi.
AWAL PERJUANGAN DI JEPANG
Diterima di perkumpulan Tabata telah membuat Funakoshi berpikir untuk lebih serius menyebarkan karate di Jepang. Awalnya dia sempat bimbang dan kemudian mengirim surat pada istrinya. Syukurlah, istrinya mau mengerti dan bersedia mendukung keputusan suaminya. Tapi tetap saja hal itu bukan perkara mudah, apalagi saat itu di Jepang Funakoshi adalah orang asing.
Karena tidak punya banyak uang, selama di Jepang Funakoshi tinggal di Meisei Juku, sebuah asrama untuk pelajar Okinawa di Suidobata. Funakoshi tinggal di sebuah kamar sederhana yang terletak di samping jalan masuk asrama. Siang hari ketika para murid sedang belajar di kelas Funakoshi bekerja sebagai tukang kebun dan membersihkan asrama. Di malam hari dia mengajar karate sekaligus bekerja sebagai penjaga.
“Di Meisei Juku aku diijinkan memakai aula asrama sebagai dojo sementara ketika tidak dipakai para murid. Namun demikian, uang menjadi masalah yang serius. Aku belum berpenghasilan, keluargaku di Okinawa tidak bisa mengirim uang kemari, dan saat itu aku tidak bisa menarik sponsor karena di Jepang karate masih begitu asing.”
“Aku hanya mempunyai sedikit murid dan uang yang kudapat tidak cukup untuk makan. Aku membujuk koki asrama dengan mengajarinya karate. Sebagai gantinya, dia memberiku potongan harga untuk biaya makan bulanan. Hidup saat itu benar-benar sulit, tapi bertahun-tahun kemudian saat kuingat kembali, hal itu adalah sebuah kisah yang menarik.”
Di tengah himpitan hidup, Funakoshi berhasil menyelesaikan buku pertamanya yang berjudul “Ryukyu Kenpo: Tode.” Pada sampul depannya menggunakan lukisan harimau “Tora no Maki” karya Kosugi. Dalam buku ini pula Funakoshi menuliskan huruf kanji karate dengan huruf yang berbeda dari sebelumnya.
Tindakan Funakoshi yang mengubah huruf kanji karate itu sontak memicu kontroversi. Banyak ahli karate asal Okinawa yang merasa “marah.” Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena ratusan tahun sebelumnya penulisan karate memakai huruf yang bermakna Cina. Hal itu dilakukan karena masyarakat Okinawa di masa lalu menghargai budaya Cina sebagai hal yang istimewa. (bersambung – Indoshotokan)