Tanggal 1 September 1923 gempa hebat melanda wilayah Kanto. Gempa yang masuk dalam sejarah Jepang sebagai salah satu yang terparah itu menimbulkan kerusakan dimana-mana. Walau dojonya di Meiseijuku masih utuh, banyak murid Funakoshi yang tewas menjadi korban gempa. Funakoshi tidak lagi bisa meneruskan pekerjaannya sebagai penjaga sekolah. Untuk menyambung hidup, Funakoshi lalu bekerja sebagai buruh di bank Daiichi Sogo di Kyobashi.
Karena Funakoshi tidak bisa menggunakan dojonya di Meiseijuku, seorang instruktur kendo ternama yaitu Hiromichi Nakayama menawari Funakoshi untuk menggunakan dojonya ketika kosong. Tindakan Nakayama ini sebetulnya sangat terpuji, tapi saat itu mengijinkan dojo dipakai bela diri lain dianggap sebagai hal yang kurang pantas. Uniknya, selama masa sulit itu ada juga pegulat sumo yang belajar karate pada Funakoshi.
PERUBAHAN SISTEM PERINGKAT DAN NAMA KATA
Perkenalan dengan Kano rupanya menginspirasi Funakoshi untuk merubah sistem peringkat karate. Funakoshi mengadaptasi sistem Yudansha (sabuk hitam) dan Mudansha (di bawah sabuk hitam). Model baju karate yang sebelumnya masih tradisional ala Okinawa diganti dengan model baru seperti apa yang terlihat pada hari ini.
Setelah sempat dipromosikan sebelumnya, akhirnya di bulan April 1924 Shinkin Gima menerima peringkat shodan dari Funakoshi. Upaya Funakoshi ini bukan tanpa alasan. Langkah itu adalah tahap awal penyesuaian atas permintaan Dai Nippon Butokukai (Asosiasi Bela Diri Jepang). Saat itu selain nama, setiap aliran bela diri wajib mempunyai identitas yang jelas untuk keperluan standarisasi.
Ketika datang ke Jepang Funakoshi mengajarkan 15 kata yaitu 5 Pinan, 3 Naihanchi, Kushanku, Seishan, Passai, Wanshu, Chinto, Jitte dan Jion. Funakoshi selalu menekankan murid-muridnya untuk menguasai dasar sebelum meningkat pada teknik tingkat lanjut. Selama di Jepang Funakoshi juga membawa muridnya berlatih pada ahli karate lain (terutama Kenwa Mabuni, Shito-ryu). Dari sanalah jumlah kata dalam Shotokan sedikit demi sedikit mulai bertambah.
Gichin Funakoshi (keempat dari kiri) dalam pertemuan bersama para tokoh karate di Tokyo sekitar tahun 1930-an.
Gichin Funakoshi (keempat dari kiri) dalam pertemuan bersama para tokoh karate di Tokyo sekitar tahun 1930-an.
Banyak orang meyakini jika Funakoshi sebenarnya menguasai lebih dari sekedar 15 kata. Hal ini berdasarkan pengalamannya yang belajar pada banyak orang. Selain dari Azato dan Itosu, ternyata Funakoshi juga pernah belajar pada Kanryo Higashionna, seorang tokoh penting dalam Goju-ryu. Ada pula Kiyuna Peichin yang terkenal dengan pukulannya yang hebat. Yang terakhir adalah Sokon Matsumura, tokoh sentral karate yang menguasai begitu banyak kata.
Banyak yang bertanya mengapa Funakoshi hanya mengajarkan 15 kata? Ini karena Funakoshi memilih kata yang baginya lebih condong pada bela diri. Baginya karate lebih dari sekedar memukul dan menendang. Funakoshi juga menyatakan keinginannya agar karate dapat tampil sederhana baik teknik dan filosofinya sehingga bisa dipelajari semua orang. Bagi Funakoshi rahasia karate mustahil ditemukan oleh orang yang hanya mengejar kekuatan semata.
Sejak Funakoshi mengemukakan pendapatnya ini, konsep karate telah berubah dari “karate-jutsu” menjadi “karate-do.” Karate telah berubah dari sekedar teknik untuk mengalahkan lawan menjadi seni bela diri yang berfilosofi jalan hidup. Walau pendapatnya membawa perubahan besar, Funakosh belum mempublikasikannya secara resmi.
MASA AWAL KEEMASAN KARATE
Usaha Funakoshi untuk mengembangkan karate di Jepang ternyata disambut baik. Banyak dojo karate dibuka di sekolah hingga universitas. Bahkan ada juga pusat perbelanjaan dan perusahaan jasa kereta api di Tokyo yang membuka dojo bagi pegawainya. Begitu antusiasnya orang Jepang dengan karate sampai-sampai sulit ditemukan tempat kosong untuk berlatih.
Tahun 1924 Profesor Kasuya seorang staf pengajar Bahasa Jerman di Universitas Keio meminta Funakoshi mengajar karate bagi mahasiswanya. Permintaan itu disanggupi dan dojo di Keio berada dibawah pengawasan dari Funakoshi sendiri. Hingga kini dojo di Keio masih aktif. Tahun 1926 Universitas Tokyo juga resmi membuka dojonya. Masih di tahun yang sama, Funakoshi menerbitkan bukunya “Renten Goshin Karate Jutsu.” Buku ini sebenarnya adalah buku “Ryukyu Kenpo: Tode” yang diterbitkan ulang.
Funakoshi juga membuka dojo di Shichi Tokudo yang letaknya di barak istana. Sayangnya akibat sebuah insiden membuat Funakoshi berhenti mengajar di sana. Ini karena beberapa murid mengusulkan latihan jiyu kumite dengan memakai pelindung badan ala kendo. Funakoshi yang sejak awal menentang berbagai bentuk kompetisi tidak bisa menerima pendapat itu. Apalagi saat itu kumite dalam karate bukanlah hal yang lazim.
Tidak terasa hanya dalam waktu empat tahun saja jumlah dojo universitas kian menjamur. Karena tidak mungkin mengatasi semuanya, Funakoshi dibantu oleh Yoshitaka Funakoshi dan Shigeru Egami (kelak memimpin Shotokai). Di sela kesibukannya sebagai instruktur, Funakohi bersama murid-muridnya masih sempat melakukan demonstrasi karate di penjuru Jepang. (Indoshotokan – bersambung).