Yang jelas, metode berlatih karate mengalami perubahan besar. Jika sebelumnya hanya kata, maka dalam masa perang setiap harinya hanya diisi kihon dan kumite. Kihon dipilih karena gerakannya lebih sederhana sehingga dianggap lebih praktis. Yang sangat berbeda adalah kumite yang kali ini diperbolehkan kontak fisik. Latihan yang lebih pantas disebut berkelahi ini sangat keras dan menuntut semua prajurit mengeluarkan tenaga maksimal. Sehingga pemandangan pemuda yang berlatih masih dibalut perban saat itu adalah hal biasa
Karena banyak pemuda yang pergi demi mengangkat senjata, membuat dojo-dojo di universitas menjadi sepi. Funakoshi masih ingat betapa banyak muridnya yang berlutut dan berpamitan di hadapannya. Tentu saja banyak yang mati akibat perang, dan kenyataan pahit ini menyisakan kesedihan mendalam di hati Funakoshi. Masih terbayang di benak Funakoshi betapa ramai dan rajin murid-muridnya berlatih di dojo. Tapi kini hampir setiap hari Funakoshi menerima kabar kematian murid-muridnya.
Tahun 1941 menjadi awal berkobarnya Perang Dunia II. Saat itu kapal induk Amerika yaitu Pearl Harbour merapat ke perairan Jepang. Kehidupan di Jepang menjadi serba sulit, tidak terkecuali karate. Meski demikian, Funakoshi masih mampu menerbitkan bukunya yaitu “Karate-do Nyumon.” Dalam buku ini Funakoshi menulis bagian sejarah, sedangkan untuk teknik dibantu oleh Yoshitaka. Karate-do Nyumon memuat banyak kisah yang ditulis dengan gaya bahasa yang menarik dan masih dicetak ulang hingga kini.
Tahun 1945 menjadi puncak dari semua bencana akibat perang. Bulan April dojo Shotokan yang telah dibangun susah payah hancur akibat serangan bom pasukan sekutu. Banyak yang mengira latihan di dojo utama itu sudah tidak ada lagi dan karate Funakoshi sudah tamat. Belum usai satu masalah, di bulan Nopember Yoshitaka yang sudah mengidap tuberkolosis akut harus berakhir hidupnya. Yoshitaka sebelumnya telah dinyatakan dokter akan sulit bertahan dari penyakit mengerikan ini.
Setelah kematian anaknya, Funakoshi memutuskan meninggalkan Tokyo dan kembali ke Oite di Kyushu. Funakoshi berharap masih bisa menemui istrinya kembali. Mereka berpisah saat Funakoshi memutuskan untuk mengembangkan karate di Tokyo karena istrinya memilih bertahan di Shuri. Hanya dalam waktu tiga bulan saja, perang besar itu telah menewaskan tidak kurang dari 260.000 penduduk Okinawa. Ini karena pemerintah Jepang menggunakan Okinawa sebagai garis depan sebelum pasukan sekutu menembus Jepang daratan.
Banyaknya wanita dan anak-anak yang menjadi korban membuat Funakoshi cemas akan keselamatan istrinya. Penduduk Okinawa yang masih hidup kemudian mengungsi ke pulau Kyushu. Di pengungsian itulah Funakoshi berhasil bertemu kembali dengan istrinya. Funakoshi lalu memutuskan untuk menemani istrinya hingga hari kematiannya di tahun 1947.
BANGKITNYA KEMBALI KARATE
Musibah yang beruntun membuat Funakoshi tidak kuasa menahan kesedihannya. Kehidupannnya berada di titik nadir terendah, tapi Funakoshi sadar putus asa dan menyesal bukanlah jawabannya. Masih banyak orang di Tokyo yang menunggunya kembali. Selalu masih ada harapan untuk diraih dan karena itu Funakoshi memutuskan untuk berjuang kembali di Tokyo.
Dalam perjalanannya ke Tokyo di tiap stasiun kereta Funakoshi telah ditunggu oleh bekas murid-muridnya. Sebagian dari mereka bahkan sudah tidak mampu diingat oleh Funakoshi. Mereka yang disangka telah mati dalam perang kini berdiri untuk menunggunya. Diantara mereka bahkan ada yang sudah berpisah dengan Funakoshi hampir dua puluh tahun lamanya. Saat menerima ucapan belasungkawa dari murid-muridnya, Funakoshi yang biasanya tegar tidak kuasa menahan haru hingga menitikkan air mata.
Bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 membuat Jepang luluh lantak. Bangunan yang hancur memang tidak terhitung namun tidak sebanding dengan trauma mental para korbannya. Bom super dahsyat itu akhirnya sukses mengubur ambisi Jepang untuk menjadi negara terkuat di Asia.
Gichin Funakoshi (paling kanan) tiba di Tokyo sekembalinya dari Okinawa bersama dengan Kenwa Mabuni (tengah) dan Sakio Ken (paling kiri).
Pasukan sekutu yang menduduki
Jepang kemudian melarang segala bentuk latihan bela diri karena khawatir akan
terjadi perlawanan lagi. Beruntung, karena hubungan baik antara Funakoshi
dengan Menteri Pendidikan membuat latihan karate diijinkan. Apalagi sebelumnya
karate telah dimasukkan dalam pendidikan jasmani. Sehingga latihan karate pasca
perang dianggap sebagai bagian pelajaran olah raga.
Walau tidak seramai tahun-tahun
sebelumnya, sedikit demi sedikit aktivitas karate mulai bergeliat. Bahkan ada
juga prajurit Amerika yang ikut dalam latihan ini. Mereka sengaja mengundang
beberapa instruktur bela diri Jepang yang terbaik ke Kodokan. Setelah para
prajurit itu kembali ke negaranya, Funakoshi banyak menerima surat
dari orang Amerika yang ingin menjadi muridnya. Hal ini kemudian mempermudah
jalan bagi karate masuk ke benua Amerika dan Eropa di kemudian hari.
Tahun 1949 Isao Obata dan
beberapa murid Funakoshi yang paling senior mengusulkan sebuah organisasi untuk
menyatukan seluruh praktisi karate di Jepang. Asosiasi itu kemudian diberi nama
Nippon Karate Kyokai (NKK) atau Japan Karate Karate Association (JKA). Dalam
organisasi itu Funakoshi menjabat sebagai shuseki
shihan atau guru besar. Tujuan lain JKA adalah mempromosikan semangat
karate ke penjuru Jepang dan dunia. (bersambung – Indoshotokan).