KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

GICHIN FUNAKOSHI – LEBIH DEKAT DENGAN SANG MAESTRO (6)

Dari sekian banyak orang yang membantu Funakoshi adalah Yoshitaka yang paling menonjol. Anak ketiga Funakoshi ini banyak memberikan inovasi baru dalam karate moderen. Yang paling kelihatan adalah penggunaan kuda-kuda rendah seperti apa yang terlihat dalam Shotokan pada hari ini. Selain itu adalah variasi tendangan seperti ushiro geri dan yoko geri kekomi yang sebelumnya tidak pernah ada dalam karate Okinawa. Yoshitaka juga memperkenalkan model kumite yang baru seperti kihon kumite dan jiyu kumite.   

Sebagai salah satu pendukung setia dari Funakoshi, nama Ohtsuka Hironori juga tidak bisa diabaikan. Anak muda berbakat ini sudah belajar jujitsu dan kendo sejak kecil. Sayangnya, setelah sekian lama mengikuti Funakoshi, akhirnya Ohtsuka memutuskan untuk meninggalkannya. Alasannya tidak begitu jelas, ada yang menyebut akibat pertentangan dengan cara mengajar Yoshitaka yang keras. Sementara sumber lain menyebut Ohtsuka terlalu banyak memasukkan jujitsu dalam karate.

Saat itu Ohtsuka bertindak sebagai asisten di dojo Meiseijuku. Konon karena tiap hari hanya diisi latihan kata, kebanyakan murid menjadi bosan. Untuk mengatasi masalah itu Ohtsuka memperkenalkan ippon kumite (satu teknik) dan sanbon kumite (tiga teknik). Alasan Ohtsuka adalah dia merasa ada yang hilang dari gaya karate Funakoshi dan latihan kata saja tidak cukup efektif. Sebelumnya Ohtsuka juga sempat membicarakan masalah itu dengan ahli karate lain seperti Choki Motobu dan Kenwa Mabuni.

Walau alasan dibalik mundurnya Ohtsuka masih spekulatif, yang jelas tahun 1934 dia mendirikan Wado-ryu (jalan yang selaras). Ada yang menyebut arti nama Wado-ryu menyindir perseteruan antara Ohtsuka dengan Yoshitaka. Ketika Funakoshi mengetahui keluarnya Ohtsuka, dalam salah satu bukunya dia menyatakan bahwa Ohtsuka terlalu banyak memasukkan unsur jujitsu hingga mengubah esensi dari karate. Di luar isu yang beredar, di kemudian hari Wado-ryu ternyata juga berhasil menjadi 4 besar karate Jepang.


HARAPAN BARU DARI DOJO SHOTOKAN


Meski karate telah populer di Jepang, Funakoshi masih belum mempunyai dojo sendiri. Padahal dojo utama sangat penting artinya untuk menyatukan seluruh dojo cabang. Tapi saat itu sangat sulit mengumpulkan dana bagi pembangunan dojo ini. Karena kesibukannya, tahun 1935 Funakoshi membentuk Shotokai. Panitia kecil ini bertugas mengumpulkan dana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan rencana pembangunan dojo utama.

Di tengah kesibukan yang luar biasa, Funakoshi mampu menerbitkan bukunya yaitu “Karate-do Kyohan.” Buku yang menjadi bacaan wajib bagi praktisi Shotokan ini memuat 15 kata, teknik dasar dan bela diri. Di buku ini pula Funakoshi mengutarakan alasannya mengubah ideogram karate-do. Karate-do Kyohan adalah buku Funakoshi yang terbaik dan terlaris hingga saat ini. Funakoshi mempersembahkan buku ini juga sebagai ucapan selamat pada karate-do sebagai seni bela diri Jepang yang baru.

Setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan, tahun 1936 dojo utama itu akhirnya rampung. Funakoshi yang sudah berusia 68 tahun berdiri di depan dojo utama dan memberikan hormat. Setahun kemudian upacara peresmian dojo baru itu dilakukan. Dojo yang terletak di kawasan Zoshigaya Tokyo itu awalnya tidak mempunyai nama. Murid-murid Funakoshi kemudian menganugerahkan nama Shotokan sebagai penghargaan bagi Funakoshi.

Sebuah foto lama dari dojo Shotokan yang diambil sebelum Perang Dunia II.

Setelah dojo utama berdiri, Funakoshi menetapkan kihon, kata dan kumite sebagai materi standar dalam karate. Di luar dugaan, kumite ternyata mendapat antusias luar biasa dari anak muda. Kumite seakan menjadi angin segar bagi mereka yang sudah jenuh dengan latihan karate yang itu-itu saja. Saat itu sering diadakan latihan kumite antar universitas. Bahkan tidak jarang sesama dojo universitas saling mengunjungi satu sama lain dan saling menampilkan teknik kata dan kumite masing-masing.


BENCANA DI MASA PERANG


Tahun 1930-an Jepang tengah berusaha menginvasi negara-negara Asia. Tercatat Jepang berhasil menguasai Manchuria (1932) dan Cina (1936). Untuk memenuhi ambisinya itu pemerintah Jepang merekrut anak-anak muda sebagai prajurit. Menjadi prajurit tidak cukup hanya nasionalis dan berani mati saja. Mereka juga harus pandai bela diri karena dipandang sebagai senjata kedua setelah bubuk mesiu. Pemerintah Jepang kemudian mencari ke banyak dojo bela diri. Dari sekian banyak aliran, akhirnya yang terpilih adalah aikido dan karate.  

Morihei Ueshiba adalah tokoh aikido yang ternama saat itu. Teknik Ueshiba sebenarnya sangat baik, namun menjadi kendala ketika muridnya gagal mengeksekusi dalam situasi yang sebenarnya. Teknik aikido juga dianggap terlalu banyak dan mustahil diserap dalam waktu singkat. Oleh pemerintah Jepang aikido dianggap tidak cocok sehingga mereka memutuskan mengambil calon prajurit dari dojo karate.  

Tiga dojo karate yang menjadi kandidat kuat adalah Goju-ryu, Wado-ryu dan Shotokan. Goju-ryu sebetulnya mempunyai teknik yang baik, tapi menekankan pada pernapasan dan Sanchin, sehingga dinilai kurang praktis. Sebaliknya, teknik Wado-ryu dianggap terlalu “ringan.” Pilihan akhirnya jatuh pada dojo Shotokan karena tekniknya yang frontal, cenderung keras dan dinilai bisa menyelesaikan lawan dengan cepat. (bersambung – Indoshotokan)