Jepang adalah negara yang moderen dengan banyak budaya tradisional. Meski dalam ilmu dan teknologi mereka terdepan diantara negara lain, namun budaya warisan nenek moyang tidak mereka tinggalkan. Karena itu jangan heran jika ditengah padat dan majunya kota Tokyo yang disebut salah satu kota tersibuk di dunia, masih ada ruang untuk kuil yang berusia ratusan tahun. Bangunan tradisional itu seakan tidak tergerus oleh arus modernisasi. Inilah salah satu poin lebih dari bangsa Jepang.
Salah satu kekayaan bangsa Jepang adalah beragam festival (matsuri) yang umumnya digelar setiap tahun. Perayaan itu umumnya digelar untuk memperingati momen khusus seperti musim panas, musim panen, ritual keagamaan, dan masih banyak lagi. Salah satu festival terbesar yang rutin digelar tiap tahun adalah festival Jion (ada yang menyebut Gion). Jadi ingat dengan salah satu kata Shotokan ? Anda tidak perlu heran karena masih ada hubungan dengan kata wajib Shotokan itu, meski hubungannya hanya sekedar persamaan nama. Sebenarnya ada pula biksu Budha bernama Jion, namun sangat sulit melacak kebenarannya.
Arti Jion dalam kata Shotokan sendiri bermacam-macam. Ada yang mengartikannya dengan pengampunan – lihat pada gerakan awalnya – namun ada juga yang menganggap nama kata ini berasal dari nama biksu Budha yang datang ke Okinawa. Kemudian biksu tadi mengajarkan ilmu bela dirinya pada orang-orang Okinawa, selanjutnya nama biksu tadi dijadikan sebagai nama kata. Ada juga yang menyatakan nama Jion diambil berasal dari nama kuil Budha. Dan memang, Jion adalah kata yang sarat dengan nuansa Budhisme. Bahkan dari salah satu sumber ada yang menyatakan kalau dilihat dari atas embusen (arah gerakan) kata Jion ini membentuk huruf Budha. Serba misterius memang.
Festival Jion pertama kali terjadi tahun 869 Masehi ketika bencana dan wabah penyakit melanda Kyoto. Masyarakat saat itu percaya musibah terjadi karena kemarahan dewa. Karena itu kepala pendeta Kuil Yasaka memerintahkan masyarakat untuk membuat semacam rakit kayu. Tidak sekedar membuat dan mengusung rakit kayu, masyarakat saat itu juga berdoa agar kemarahan dewa-dewa Shinto mereda. Setelah bencana berakhir, ritual itu tetap dipertahankan hingga sekarang.
Salah satu kekayaan bangsa Jepang adalah beragam festival (matsuri) yang umumnya digelar setiap tahun. Perayaan itu umumnya digelar untuk memperingati momen khusus seperti musim panas, musim panen, ritual keagamaan, dan masih banyak lagi. Salah satu festival terbesar yang rutin digelar tiap tahun adalah festival Jion (ada yang menyebut Gion). Jadi ingat dengan salah satu kata Shotokan ? Anda tidak perlu heran karena masih ada hubungan dengan kata wajib Shotokan itu, meski hubungannya hanya sekedar persamaan nama. Sebenarnya ada pula biksu Budha bernama Jion, namun sangat sulit melacak kebenarannya.
Arti Jion dalam kata Shotokan sendiri bermacam-macam. Ada yang mengartikannya dengan pengampunan – lihat pada gerakan awalnya – namun ada juga yang menganggap nama kata ini berasal dari nama biksu Budha yang datang ke Okinawa. Kemudian biksu tadi mengajarkan ilmu bela dirinya pada orang-orang Okinawa, selanjutnya nama biksu tadi dijadikan sebagai nama kata. Ada juga yang menyatakan nama Jion diambil berasal dari nama kuil Budha. Dan memang, Jion adalah kata yang sarat dengan nuansa Budhisme. Bahkan dari salah satu sumber ada yang menyatakan kalau dilihat dari atas embusen (arah gerakan) kata Jion ini membentuk huruf Budha. Serba misterius memang.
Festival Jion pertama kali terjadi tahun 869 Masehi ketika bencana dan wabah penyakit melanda Kyoto. Masyarakat saat itu percaya musibah terjadi karena kemarahan dewa. Karena itu kepala pendeta Kuil Yasaka memerintahkan masyarakat untuk membuat semacam rakit kayu. Tidak sekedar membuat dan mengusung rakit kayu, masyarakat saat itu juga berdoa agar kemarahan dewa-dewa Shinto mereda. Setelah bencana berakhir, ritual itu tetap dipertahankan hingga sekarang.
Kuil Yasaka di Kyoto
Kuil Yasaka yang sebelumnya bernama Jion san (atau kuil Jion) menjadi pusat festival tahunan ini. Kuil Yasaka terletak di Kyoto yang terkenal dangan banyaknya kuil tradisional. Tidak kurang dari 1800 kuil kuno tersebar di kota kecil ini. Jika di Indonesia Kyoto kurang lebih sama seperti Jogja. Jika tertarik sejarah Jepang dan ingin melihat Jepang di masa lalu, lebih baik mengunjungi Kyoto. Kota ini terletak sekitar 200 mil arah barat dari Tokyo. Butuh waktu sekitar tiga jam perjalanan menggunakan Tokaido Shinkansen (kereta super cepat Jepang). Momen yang sangat tepat adalah saat festival Jion yang diadakan setiap bulan Juli dari tanggal 1 sampai tanggal 31.
Saat festival Jion masyarakat akan mengenakan yukata dan geta (pakaian tradisional Jepang yang umumnya dipakai saat festival). Mereka memadati jalanan kota Kyoto menyaksikan yama dan hoko yang diarak keliling kota. Yama adalah rakit kayu yang beratnya sekitar 1.200 s/d 1.600 kg (cukup berat!) dan didorong sekitar 12 s/d 14 orang. Sedang hoko adalah rakit kayu yang beratnya sekitar 12.000 kg (sangat berat!) setinggi kira-kira 6 meter dan diusung oleh sekitar 30 s/d 40 orang.
Festival ini mencapai puncaknya pada tanggal 17 yang disebut dengan Yamahoko Junko. Saat itu tidak kurang dari 25 yama dan 7 hoko dengan berbagai hiasan dan ornamen tradisional nan eksotik ditampilkan. Konon hiasan berwarna-warni itu diperoleh di abad ke 15 tidak hanya dari Jepang namun juga negara lain yaitu Turki, India, Belgia dan Persia. Masing-masing rakit didorong oleh pemuda Jepang yang mengenakan pakaian tradional. Mereka mendorong rakit dengan meneriakkan yel-yel yang khas. Diatas yama dan hoko ada sekelompok orang yang memainkan musik tradisional Jepang.
Apa yang paling menarik dari festival Jion ? Tentu saja Yama dan hoko super berat yang diarak keliling Kyoto. Momen yang sangat sayang untuk dilewatkan hingga masyarakat dan turis akan berdesakan di tepi jalan menyaksikannya. Walaupun sudah membayar tiket yang lumayan mahal (tidak kurang dari 3.000 yen), Anda tetap harus berangkat pagi-pagi agar mendapat tempat. Setelah Yamahoko Junko selesai kota Kyoto tidak akan sepi begitu saja. Masih banyak hal-hal unik lainnya seperti pasar tradional di Takashimaya dan Nishiki-Koji. Tempat-tempat ini menjual berbagai barang dan jajanan khas festival yang layak dibeli.
Yah, Kyoto benar-benar kota yang menarik. Dibanding Tokyo dan Osaka yang penduduknya super sibuk dan berjalan cepat karena dikejar waktu, Kyoto justru sebaliknya. Anda akan sering melihat penduduk setempat yang berjalan santai, padahal soal sibuk dengan Tokyo tidaklah berbeda. Disamping itu ada banyak kuil yang layak dikunjungi. Anda tidak perlu khawatir karena jarak tiap kuil umumnya tidak begitu jauh dan cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Jika Anda lelah, tenaga dapat dipulihkan dengan mampir ke tachigui (warung tradisional ala Kyoto) yang menawarkan semangkuk soba atau udon (semacam mie) dengan cita rasa yang yang menggoda plus harga yang tidak mahal. Benar-benar pengalaman yang sangat sayang dilewatkan. (Indoshotokan)
Saat festival Jion masyarakat akan mengenakan yukata dan geta (pakaian tradisional Jepang yang umumnya dipakai saat festival). Mereka memadati jalanan kota Kyoto menyaksikan yama dan hoko yang diarak keliling kota. Yama adalah rakit kayu yang beratnya sekitar 1.200 s/d 1.600 kg (cukup berat!) dan didorong sekitar 12 s/d 14 orang. Sedang hoko adalah rakit kayu yang beratnya sekitar 12.000 kg (sangat berat!) setinggi kira-kira 6 meter dan diusung oleh sekitar 30 s/d 40 orang.
Festival ini mencapai puncaknya pada tanggal 17 yang disebut dengan Yamahoko Junko. Saat itu tidak kurang dari 25 yama dan 7 hoko dengan berbagai hiasan dan ornamen tradisional nan eksotik ditampilkan. Konon hiasan berwarna-warni itu diperoleh di abad ke 15 tidak hanya dari Jepang namun juga negara lain yaitu Turki, India, Belgia dan Persia. Masing-masing rakit didorong oleh pemuda Jepang yang mengenakan pakaian tradional. Mereka mendorong rakit dengan meneriakkan yel-yel yang khas. Diatas yama dan hoko ada sekelompok orang yang memainkan musik tradisional Jepang.
Apa yang paling menarik dari festival Jion ? Tentu saja Yama dan hoko super berat yang diarak keliling Kyoto. Momen yang sangat sayang untuk dilewatkan hingga masyarakat dan turis akan berdesakan di tepi jalan menyaksikannya. Walaupun sudah membayar tiket yang lumayan mahal (tidak kurang dari 3.000 yen), Anda tetap harus berangkat pagi-pagi agar mendapat tempat. Setelah Yamahoko Junko selesai kota Kyoto tidak akan sepi begitu saja. Masih banyak hal-hal unik lainnya seperti pasar tradional di Takashimaya dan Nishiki-Koji. Tempat-tempat ini menjual berbagai barang dan jajanan khas festival yang layak dibeli.
Yah, Kyoto benar-benar kota yang menarik. Dibanding Tokyo dan Osaka yang penduduknya super sibuk dan berjalan cepat karena dikejar waktu, Kyoto justru sebaliknya. Anda akan sering melihat penduduk setempat yang berjalan santai, padahal soal sibuk dengan Tokyo tidaklah berbeda. Disamping itu ada banyak kuil yang layak dikunjungi. Anda tidak perlu khawatir karena jarak tiap kuil umumnya tidak begitu jauh dan cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Jika Anda lelah, tenaga dapat dipulihkan dengan mampir ke tachigui (warung tradisional ala Kyoto) yang menawarkan semangkuk soba atau udon (semacam mie) dengan cita rasa yang yang menggoda plus harga yang tidak mahal. Benar-benar pengalaman yang sangat sayang dilewatkan. (Indoshotokan)