Aku menerima pelajaran karate dari Gichin Funakoshi saat menjadi salah satu anggota klub karate di Universitas Takushoku. Saat itu usiaku sekitar dua puluhan, sedangkan Master Funakoshi sudah berusia delapan puluhan. Dari sudut pandang mataku yang masih muda ini dia adalah seorang legenda hidup.
Saat masih berusia tujuh belas tahun, aku sering merenung kelak diriku akan mengikuti pelajaran karate dari Master Funakoshi. Saat begitu bersemangat mengingat sosok seperti apakah dia, aku ingin turut berbagi beberapa pelajaran yang telah kuperoleh saat bersamanya. Selain itu juga karate dari sudut pandangku secara pribadi selama aku menghabiskan waktu bersama Master Funakoshi.
Gichin Funakoshi dilahirkan tahun 1868 di Shuri, Okinawa. Sebagai anak yang bertubuh kecil dan lemah, dia mulai berlatih karate, belajar dibawah Yasutsune Itosu dan Yasutsune Azato (dan sesekali Sokon Matsumura). Funakoshi menjalani latihannya di malam hari, setelah menyelesaikan pekerjaannya mengajar di sekolah pada hari itu. Adalah sudah biasa baginya melihat fajar yang baru setiap usai latihan. Dia tumbuh menjadi seorang ahli kaligrafi (tulisan kanji) dan seorang pendidik yang terlibat mengajar anak-anak muda di kotanya.
Titik balik untuk Funakoshi tiba tahun 1922 saat dirinya diundang ke Tokyo sebagai wakil Prefektur Okinawa untuk mendemonstrasikan karate di acara Eksibisi Tahunan Atletik yang pertama. Sebuah acara untuk anak muda Jepang yang didukung oleh Menteri Pendidikan. Demonstrasi itu menuai sukses dan setelah itu Funakoshi menerima permohonan yang terhitung jumlahnya untuk mengajar karate. Dia memutuskan untuk tinggal di Tokyo dan tetap disana hingga kematiannya, menyebarkan karate sebagai ilmu untuk melatih fisik dan mental, terutama dengan mengajar para mahasiswa di Universitas. Saat itu Funakoshi sudah berusia lima puluhan, yang membuatnya lalu dianugerahi gelar “Bapak Karate Moderen.”
Saat itu di Jepang orang-orang dengan usia lima puluhan umumnya telah memasuki masa pensiun. Namun tidak demikian halnya dengan Master Funakoshi, disamping sedikitnya dukungan ekonomi, dia memutuskan untuk memulai hidup yang baru di Tokyo. Sejak itu dan selanjutnya menjadi sebuah episode yang sangat populer dalam hidupnya.
Karena kesulitan ekonomi, Prefektur Okinawa tidak mampu menyediakan dukungan finansial dalam bentuk apapun pada Funakoshi. Karena itulah Master Funakoshi diijinkan tinggal di Meisei Juku, sebuah asrama bagi pelajar Okinawa dengan sebagai gantinya mengerjakan bermacam-macam pekerjaan di asrama.
Suatu hari seorang wartawan datang ke asrama untuk mewawancarai Funakoshi. Setibanya disana, dia melihat seorang pembantu yang tengah menyapu di kebun. Diapun bertanya dengan nada bicara yang angkuh, ”Master Funakoshi ada?” Pembantu itu dengan sopan mengajak wartawan itu ke ruang lukis dan memintanya untuk menunggu sebentar. Sesaat kemudian pembantu di kebun itu muncul kembali, namun kali ini dengan mengenakan busana yang lebih rapi. Saat itulah wartawan itu sadar bahwa pembantu dan Master Funakoshi adalah orang yang sama. Terlihat terkejut, wartawan itu membungkuk dalam-dalam pada Funakoshi, benar-benar meminta maaf atas ketidaksopanannya. Namun demikian, Funakoshi telah melupakan kejadian itu dan selalu tersenyum selama wawancara.
Di tahun-tahun berikutnya Master Funakoshi tidak akan melupakan sebuah masa dalam hidupnya, dimana sang Master hidup dalam serba kekurangan. “Aku tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah kesulitan,” dia menjelaskan. “Lebih dari itu, aku berterima kasih pada segala aspirasi dan mimpiku untuk menyebarkan karate. Aku sudah cukup merasa bahagia.”
Aku telah belajar dari Master Funakoshi bahwa kau selalu bisa memulai jalan yang baru, tidak masalah berapa usiamu, dan hatimulah yang akan menentukan kebahagiaanmu sendiri.
Ada juga sebuah kisah lucu diantara kami para murid saat itu tentang rasa penasaran pada sebuah pertanyaan: Apakah Sensei Funakoshi masih benar-benar tangguh di usianya yang sudah delapan puluhan? Satu insiden yang terjadi dikemudian hari menyadarkanku bahwa diluar usia yang masih muda, kami bukanlah tandingan untuk sang Master.
Saat itu aku pergi menjemput Master Funakoshi dan bermaksud mengantarkannya kembali ke dojo universitas kami dengan menumpang sebuah taksi. Duduk disampingnya dan menghadap ke depan, terlintaslah sebuah pikiran di benakku: apa yang akan terjadi jika sekarang aku mencoba kebolehan Sensei Funakoshi? Tiba-tiba Funakoshi menjawab dengan suara yang perlahan,”Kanazawa, apa yang baru saja kau pikirkan?”
“Tidak ada,” aku menjawabnya dengan gugup, menyadari bahwa dia telah membaca pikiranku. “Tidak ada sama sekali.”
Pada kesempatan lain aku begitu terkejut saat mendengar Master Funakoshi mengakui bahwa ada beberapa hal yang tidak mampu dilakukannya.
Saat itu kami sedang berlatih kata Kanku Dai. Aku mengamati dengan cermat setiap gerakan Sensei Funakoshi, dan mengerjakan setiap gerakan persis seperti yang telah ditunjukkannya pada kami. Namun meski demikian, dia datang menghampiriku dan berkata,”Kanazawa, kau harus melebarkan kedua kakimu lebih jauh dan merendahkan pinggulmu lebih rendah lagi.”
“Ya, Pak,” aku segera menjawabnya. Tapi karena masih kebingungan dengan perkataannya, aku masih saja berdiri dalam posisi yang telah dicontohkan oleh Sensei Funakoshi sebelumnya.
“Aku sudah tua, aku tidak mampu melakukan hal ini,” sang Master menambahkan. “Tapi kau masih muda. Masa muda adalah waktunya memperkuat kedua kakimu.”
Saat berlatih kata yang sama di kesempatan yang lain, aku membentangkan kedua tanganku dalam gerakan pembuka secara perlahan mirip dengan apa yang kulihat dari Master Funakoshi. Saat melihat hal ini sang Master berkata, ”aku melakukannya karena usiaku. Saat kau masih muda, irama sangatlah penting.” Dia lalu memerintahkanku untuk mengerjakan gerakan itu dengan lebih baik dalam dua langkah.
(Catatan: yang dimaksud dua langkah adalah gerakan pembuka Kanku Dai. Setelah kedua tangan mengarah perlahan keatas – melihat langit –, dengan cepat terbuka dan mengarah kebawah lagi dengan perlahan. Funakoshi tidak mampu melakukan gerakan yang cepat itu).
Masa muda dan pengalaman tidak mungkin dikuasai secara bersamaan. Sejak perjumpaanku dengan Master Funakoshi, konsep yang satu harus dikorbankan demi meraih yang lain telah menjadi bagian hidupku. (bersambung) (Indoshotokan)
Artikel diterjemahkan dengan bebas dari Buku Karate Fighting Techniques dari sub bab "OM The Master" yang ditulis Hirokazu Kanazawa. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi
Karena kesulitan ekonomi, Prefektur Okinawa tidak mampu menyediakan dukungan finansial dalam bentuk apapun pada Funakoshi. Karena itulah Master Funakoshi diijinkan tinggal di Meisei Juku, sebuah asrama bagi pelajar Okinawa dengan sebagai gantinya mengerjakan bermacam-macam pekerjaan di asrama.
Suatu hari seorang wartawan datang ke asrama untuk mewawancarai Funakoshi. Setibanya disana, dia melihat seorang pembantu yang tengah menyapu di kebun. Diapun bertanya dengan nada bicara yang angkuh, ”Master Funakoshi ada?” Pembantu itu dengan sopan mengajak wartawan itu ke ruang lukis dan memintanya untuk menunggu sebentar. Sesaat kemudian pembantu di kebun itu muncul kembali, namun kali ini dengan mengenakan busana yang lebih rapi. Saat itulah wartawan itu sadar bahwa pembantu dan Master Funakoshi adalah orang yang sama. Terlihat terkejut, wartawan itu membungkuk dalam-dalam pada Funakoshi, benar-benar meminta maaf atas ketidaksopanannya. Namun demikian, Funakoshi telah melupakan kejadian itu dan selalu tersenyum selama wawancara.
Di tahun-tahun berikutnya Master Funakoshi tidak akan melupakan sebuah masa dalam hidupnya, dimana sang Master hidup dalam serba kekurangan. “Aku tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah kesulitan,” dia menjelaskan. “Lebih dari itu, aku berterima kasih pada segala aspirasi dan mimpiku untuk menyebarkan karate. Aku sudah cukup merasa bahagia.”
Aku telah belajar dari Master Funakoshi bahwa kau selalu bisa memulai jalan yang baru, tidak masalah berapa usiamu, dan hatimulah yang akan menentukan kebahagiaanmu sendiri.
Ada juga sebuah kisah lucu diantara kami para murid saat itu tentang rasa penasaran pada sebuah pertanyaan: Apakah Sensei Funakoshi masih benar-benar tangguh di usianya yang sudah delapan puluhan? Satu insiden yang terjadi dikemudian hari menyadarkanku bahwa diluar usia yang masih muda, kami bukanlah tandingan untuk sang Master.
Saat itu aku pergi menjemput Master Funakoshi dan bermaksud mengantarkannya kembali ke dojo universitas kami dengan menumpang sebuah taksi. Duduk disampingnya dan menghadap ke depan, terlintaslah sebuah pikiran di benakku: apa yang akan terjadi jika sekarang aku mencoba kebolehan Sensei Funakoshi? Tiba-tiba Funakoshi menjawab dengan suara yang perlahan,”Kanazawa, apa yang baru saja kau pikirkan?”
“Tidak ada,” aku menjawabnya dengan gugup, menyadari bahwa dia telah membaca pikiranku. “Tidak ada sama sekali.”
Pada kesempatan lain aku begitu terkejut saat mendengar Master Funakoshi mengakui bahwa ada beberapa hal yang tidak mampu dilakukannya.
Saat itu kami sedang berlatih kata Kanku Dai. Aku mengamati dengan cermat setiap gerakan Sensei Funakoshi, dan mengerjakan setiap gerakan persis seperti yang telah ditunjukkannya pada kami. Namun meski demikian, dia datang menghampiriku dan berkata,”Kanazawa, kau harus melebarkan kedua kakimu lebih jauh dan merendahkan pinggulmu lebih rendah lagi.”
“Ya, Pak,” aku segera menjawabnya. Tapi karena masih kebingungan dengan perkataannya, aku masih saja berdiri dalam posisi yang telah dicontohkan oleh Sensei Funakoshi sebelumnya.
“Aku sudah tua, aku tidak mampu melakukan hal ini,” sang Master menambahkan. “Tapi kau masih muda. Masa muda adalah waktunya memperkuat kedua kakimu.”
Saat berlatih kata yang sama di kesempatan yang lain, aku membentangkan kedua tanganku dalam gerakan pembuka secara perlahan mirip dengan apa yang kulihat dari Master Funakoshi. Saat melihat hal ini sang Master berkata, ”aku melakukannya karena usiaku. Saat kau masih muda, irama sangatlah penting.” Dia lalu memerintahkanku untuk mengerjakan gerakan itu dengan lebih baik dalam dua langkah.
(Catatan: yang dimaksud dua langkah adalah gerakan pembuka Kanku Dai. Setelah kedua tangan mengarah perlahan keatas – melihat langit –, dengan cepat terbuka dan mengarah kebawah lagi dengan perlahan. Funakoshi tidak mampu melakukan gerakan yang cepat itu).
Masa muda dan pengalaman tidak mungkin dikuasai secara bersamaan. Sejak perjumpaanku dengan Master Funakoshi, konsep yang satu harus dikorbankan demi meraih yang lain telah menjadi bagian hidupku. (bersambung) (Indoshotokan)
Artikel diterjemahkan dengan bebas dari Buku Karate Fighting Techniques dari sub bab "OM The Master" yang ditulis Hirokazu Kanazawa. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi