Dalam sejarah Shotokan JKA nama Teruyuki Okazaki sudah menjadi legenda hidup. Jejak langkahnya memang tidak sekontroversial seperti juniornya (Hirokazu Kanazawa dan Mikio Yahara). Namun sebagai figur JKA yang paling awal, Okazaki sangat berpengaruh dalam standarisasi program Kenshusei (pelatihan instruktur profesional JKA).
Penulis buku “The Textbook of Modern Karate” dan “Perfection of Character: Guiding Principles For The Martial Arts & Everyday Life” ini juga meraih peringkat judan (tingkat ke 10 sabuk hitam) di tahun 2007. Sebuah pencapaian luar biasa yang menjadi impian banyak praktisi karate.
Penulis buku “The Textbook of Modern Karate” dan “Perfection of Character: Guiding Principles For The Martial Arts & Everyday Life” ini juga meraih peringkat judan (tingkat ke 10 sabuk hitam) di tahun 2007. Sebuah pencapaian luar biasa yang menjadi impian banyak praktisi karate.
Teruyuki Okazaki lahir di Fukuoka tanggal 22 Juni 1931. Keluarganya masih keturunan dari samurai ternama di Jepang dan karena itu pula mereka mendukung pilihan Okazaki untuk belajar seni bela diri. Sejak anak-anak Okazaki telah diperkenalkan dengan bela diri tradisional Jepang populer yaitu judo dan kendo.
Saat itu nama aikido sedang populer di Jepang. Kebetulan Okazaki juga sedang mencari bela diri yang cocok untuknya. Dia lalu mendaftarkan namanya di dojo milik Morihei Ueshiba yang merupakan pendiri aikido Jepang. Sayangnya aikido tidak begitu cocok untuk Okazaki yang nakal dan gemar berkelahi. Ueshiba mengatakan jika Okazaki adalah anak muda yang tidak mampu menahan emosi. Baru sebentar saja mencoba aikido Okazaki sudah memutuskan untuk meninggalkannya.
Tahun 1947 Okazaki masuk ke Universitas Toritsu. Untuk urusan bela diri, sekolah ini sebenarnya tidak menawarkan hal yang menarik. Berbeda dengan Takushoku (kadang disebut Takudai) yang memang menonjolkan bela diri sebagai nilai lebihnya. Meski untuk urusan pendidikan Takushoku bukanlah yang terbaik, sekolah ini menjadi pusat bela diri tradisional Jepang untuk level universitas. Bagi anak muda Jepang tidak ada alasan masuk ke Takushoku kecuali antusias dengan bela dirinya.
Ketika mendengar kabar itu, Okazaki lalu bergabung ke klub karate Takushoku. Walaupun sejak tahun 1935 karate telah resmi menjadi budaya Jepang, namanya masih terdengar asing di telinga keluarga Okazaki. Mereka menganggap karate tak ubahnya seperti perkelahian jalanan. Melihat sifat Okazaki yang gemar berkelahi, kedua orang tuanya khawatir jika tabiat anaknya akan semakin buruk. Syukurlah nenek Okazaki berhasil meyakinkan bahwa karate akan merubah Okazaki menjadi lebih baik.
Okazaki termasuk beruntung karena masih sempat melihat Gichin Funakoshi dan Masatoshi Nakayama sebagai instruktur. Dia sangat mengagumi orang tua yang disebut-sebut sebagai Bapak Karate Jepang itu.
“Jika berjalan di keramaian mungkin tidak ada yang menyadari jika Funakoshi adalah seorang master. Dia lebih terlihat sebagai orang tua biasa yang bahagia dengan hidupnya. Ketika di dojo dia terlihat sangat tenang namun tetap tegas. Funakoshi tidak pernah berkata, “contohlah aku” atau “tirulah aku.” Dia hanya membetulkan posisi tubuh dan gerakan murid-muridnya.”
Bagi anak muda Jepang figur Funakoshi sangatlah dihormati. Itulah sebabnya ketika mereka melihat Funakoshi melakukan gerakan karate, mereka akan meniru posisi kuda-kudanya yang cenderung lebih tinggi. Funakoshi tampaknya menyadari hal itu dan mengingatkan muridnya agar berlatih sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Sering dia berkata, “Aku sudah tua. Tiap orang mempunyai kondisi tubuh yang berbeda.”
Tahun 1953 Okazaki lulus dari jurusan politik dan ekonomi Universitas Toritsu. Dia berpikir ingin mencari pekerjaan yang tidak menganggu latihan karatenya. Mulanya hal itu tidak berjalan baik karena dia harus bekerja di sebuah restoran super sibuk selama 7 hari seminggu. Saat itu datanglah permintaan sebagai instruktur karate dari dojo universitas. Upahnya memang tidak begitu besar, tapi toh Okazaki sangat menikmatinya. Okazaki kemudian menjadi instruktur di beberapa dojo yaitu Universitas Toritsu, Boei dan tentu saja Takushoku.
OKAZAKI VS. KUCING FUNAKOSHI
Sejak menjadi instruktur karate sifat Okazaki yang mulanya gemar berkelahi berangsur menghilang. Bahkan dia diberi kepercayaan oleh sesama instruktur untuk menemui langsung Funakoshi di rumahnya. Saat itu Funakoshi sudah sangat tua hingga mustahil baginya untuk selalu mengunjungi dojo. Okazaki selalu ingat akan pengalaman lucu yang didapatnya ketika mengunjungi Funakoshi.
“Aku selalu berkunjung ke rumahnya (admin: Funakoshi) sebulan sekali untuk memberikan laporan dan mendapatkan jawaban tertulisnya. Karena dia seorang ahli kaligrafi yang terkenal, para instruktur senior memintaku membawakan padanya kertas-kertas untuk dituliskan sesuatu. Master Funakoshi selalu setuju dan sebulan kemudian aku datang mengambil kembali kertas-kertas yang sudah bertuliskan kaligrafi cantik berikut tanda tangannya.”
“Pada suatu hari dia mengundangku untuk makan siang di rumahnya. Aku berkata pada senior yang lain tapi mereka tidak percaya. Mereka sangka itu hanya gurauan. Namun demikian, dari kunjunganku yang sebelumnya Master Funakoshi tahu jika aku adalah salah satu muridnya yang paling patuh. Dengan bijaksana dia juga membaca karakter dan ambisiku.”
“Dia tahu jika sebagai anak muda aku lebih tertarik pada bagaimana bergerak lebih cepat, lebih fokus dan mendapat sabuk hitam. Dia benar, karena itulah jalan pikiranku. Dia selalu mengajarkan kami jika dojo kun adalah tujuan yang sebenarnya. Tapi tetap saja aku ingin lebih cepat dan fokus. Dia berkata padaku agar meluangkan lebih banyak waktu memikirkan tentang tujuan berlatih. Dan aku berkata, “Ya pak, ya pak,” namun disisi lain aku tetap berpikir lebih cepat, lebih fokus. Pada kunjungan berikutnya barulah aku mendapat pengalaman ini….”
“Kucing milik Master Funakoshi menyerangku! Ya, dia menggigit dan mencakarku. Aku tidak bisa melindungi diri. Kucing itu benar-benar binatang yang pandai. Tiap kali Master Funakoshi datang kucing itu akan mengitarinya. Aku tidak suka kucing. Ketika Master Funakoshi meninggalkan ruangan, binatang itu datang menghampiriku. Aku mencoba memukulnya, namun kucing itu melompat dan lari.”
“Pada sebuah kesempatan kucing itu melompat ke pangkuanku. Saat kuulurkan tangan untuk memukulnya, binatang itu menggigit dan mencakarku. Kucoba menyembunyikan darah dan bekas cakaran ketika Master Funakoshi masuk ruangan. Aku berkata, “Oh, Anda benar-benar punya kucing yang bagus.” Dia tampaknya tahu isi pikiranku dan aku sedang berbohong. Dia berkata, “Ada apa? Kau tidak mampu membela diri dari kucingku? Jalan pikiranmu keliru.”
“Hingga kini aku masih menyimpan bekas luka dari kejadian itu. Itu adalah kenangan masa mudaku akan prinsip kesabaran dan kebijaksanaan Master Funakoshi.” (bersambung)
Saat itu nama aikido sedang populer di Jepang. Kebetulan Okazaki juga sedang mencari bela diri yang cocok untuknya. Dia lalu mendaftarkan namanya di dojo milik Morihei Ueshiba yang merupakan pendiri aikido Jepang. Sayangnya aikido tidak begitu cocok untuk Okazaki yang nakal dan gemar berkelahi. Ueshiba mengatakan jika Okazaki adalah anak muda yang tidak mampu menahan emosi. Baru sebentar saja mencoba aikido Okazaki sudah memutuskan untuk meninggalkannya.
Tahun 1947 Okazaki masuk ke Universitas Toritsu. Untuk urusan bela diri, sekolah ini sebenarnya tidak menawarkan hal yang menarik. Berbeda dengan Takushoku (kadang disebut Takudai) yang memang menonjolkan bela diri sebagai nilai lebihnya. Meski untuk urusan pendidikan Takushoku bukanlah yang terbaik, sekolah ini menjadi pusat bela diri tradisional Jepang untuk level universitas. Bagi anak muda Jepang tidak ada alasan masuk ke Takushoku kecuali antusias dengan bela dirinya.
Ketika mendengar kabar itu, Okazaki lalu bergabung ke klub karate Takushoku. Walaupun sejak tahun 1935 karate telah resmi menjadi budaya Jepang, namanya masih terdengar asing di telinga keluarga Okazaki. Mereka menganggap karate tak ubahnya seperti perkelahian jalanan. Melihat sifat Okazaki yang gemar berkelahi, kedua orang tuanya khawatir jika tabiat anaknya akan semakin buruk. Syukurlah nenek Okazaki berhasil meyakinkan bahwa karate akan merubah Okazaki menjadi lebih baik.
Teruyuki Okazaki (menendang) bersama Hirokazu Kanazawa dalam sebuah foto produksi DVD Seri "Shotokan Karate - The Nakayama Legacy."
Okazaki termasuk beruntung karena masih sempat melihat Gichin Funakoshi dan Masatoshi Nakayama sebagai instruktur. Dia sangat mengagumi orang tua yang disebut-sebut sebagai Bapak Karate Jepang itu.
“Jika berjalan di keramaian mungkin tidak ada yang menyadari jika Funakoshi adalah seorang master. Dia lebih terlihat sebagai orang tua biasa yang bahagia dengan hidupnya. Ketika di dojo dia terlihat sangat tenang namun tetap tegas. Funakoshi tidak pernah berkata, “contohlah aku” atau “tirulah aku.” Dia hanya membetulkan posisi tubuh dan gerakan murid-muridnya.”
Bagi anak muda Jepang figur Funakoshi sangatlah dihormati. Itulah sebabnya ketika mereka melihat Funakoshi melakukan gerakan karate, mereka akan meniru posisi kuda-kudanya yang cenderung lebih tinggi. Funakoshi tampaknya menyadari hal itu dan mengingatkan muridnya agar berlatih sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Sering dia berkata, “Aku sudah tua. Tiap orang mempunyai kondisi tubuh yang berbeda.”
Tahun 1953 Okazaki lulus dari jurusan politik dan ekonomi Universitas Toritsu. Dia berpikir ingin mencari pekerjaan yang tidak menganggu latihan karatenya. Mulanya hal itu tidak berjalan baik karena dia harus bekerja di sebuah restoran super sibuk selama 7 hari seminggu. Saat itu datanglah permintaan sebagai instruktur karate dari dojo universitas. Upahnya memang tidak begitu besar, tapi toh Okazaki sangat menikmatinya. Okazaki kemudian menjadi instruktur di beberapa dojo yaitu Universitas Toritsu, Boei dan tentu saja Takushoku.
OKAZAKI VS. KUCING FUNAKOSHI
Sejak menjadi instruktur karate sifat Okazaki yang mulanya gemar berkelahi berangsur menghilang. Bahkan dia diberi kepercayaan oleh sesama instruktur untuk menemui langsung Funakoshi di rumahnya. Saat itu Funakoshi sudah sangat tua hingga mustahil baginya untuk selalu mengunjungi dojo. Okazaki selalu ingat akan pengalaman lucu yang didapatnya ketika mengunjungi Funakoshi.
“Aku selalu berkunjung ke rumahnya (admin: Funakoshi) sebulan sekali untuk memberikan laporan dan mendapatkan jawaban tertulisnya. Karena dia seorang ahli kaligrafi yang terkenal, para instruktur senior memintaku membawakan padanya kertas-kertas untuk dituliskan sesuatu. Master Funakoshi selalu setuju dan sebulan kemudian aku datang mengambil kembali kertas-kertas yang sudah bertuliskan kaligrafi cantik berikut tanda tangannya.”
“Pada suatu hari dia mengundangku untuk makan siang di rumahnya. Aku berkata pada senior yang lain tapi mereka tidak percaya. Mereka sangka itu hanya gurauan. Namun demikian, dari kunjunganku yang sebelumnya Master Funakoshi tahu jika aku adalah salah satu muridnya yang paling patuh. Dengan bijaksana dia juga membaca karakter dan ambisiku.”
“Dia tahu jika sebagai anak muda aku lebih tertarik pada bagaimana bergerak lebih cepat, lebih fokus dan mendapat sabuk hitam. Dia benar, karena itulah jalan pikiranku. Dia selalu mengajarkan kami jika dojo kun adalah tujuan yang sebenarnya. Tapi tetap saja aku ingin lebih cepat dan fokus. Dia berkata padaku agar meluangkan lebih banyak waktu memikirkan tentang tujuan berlatih. Dan aku berkata, “Ya pak, ya pak,” namun disisi lain aku tetap berpikir lebih cepat, lebih fokus. Pada kunjungan berikutnya barulah aku mendapat pengalaman ini….”
“Kucing milik Master Funakoshi menyerangku! Ya, dia menggigit dan mencakarku. Aku tidak bisa melindungi diri. Kucing itu benar-benar binatang yang pandai. Tiap kali Master Funakoshi datang kucing itu akan mengitarinya. Aku tidak suka kucing. Ketika Master Funakoshi meninggalkan ruangan, binatang itu datang menghampiriku. Aku mencoba memukulnya, namun kucing itu melompat dan lari.”
“Pada sebuah kesempatan kucing itu melompat ke pangkuanku. Saat kuulurkan tangan untuk memukulnya, binatang itu menggigit dan mencakarku. Kucoba menyembunyikan darah dan bekas cakaran ketika Master Funakoshi masuk ruangan. Aku berkata, “Oh, Anda benar-benar punya kucing yang bagus.” Dia tampaknya tahu isi pikiranku dan aku sedang berbohong. Dia berkata, “Ada apa? Kau tidak mampu membela diri dari kucingku? Jalan pikiranmu keliru.”
“Hingga kini aku masih menyimpan bekas luka dari kejadian itu. Itu adalah kenangan masa mudaku akan prinsip kesabaran dan kebijaksanaan Master Funakoshi.” (bersambung)