KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

KARATE: ANTARA MITOS DAN LEGENDA (2)

Sebagai kerajaan yang bebas merdeka, Ryukyu banyak melakukan perdagangan dengan negara lain. Ketika itu banyak masyarakat Ryukyu yang berdagang ke wilayah tetangga seperti Taiwan, Tiongkok, Korea dan beberapa negara Asia Tenggara. Sekembalinya ke Ryukyu mereka membawa budaya baru yang bercampur dengan budaya lokal. Bahkan ada juga orang asing yang memilih menetap di sana.

Dari sekian banyak raja yang pernah memimpin Ryukyu, adalah Raja Satto (1350 – 1405) yang paling terkenal karena membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok di tahun 1372. Sejak itu banyak orang Tiongkok dengan beragam profesi seperti pengrajin, sastrawan, dan biksu yang datang ke Ryukyu. Tahun 1393 Kaisar Hung Wu di Tiongkok memerintahkan seniman dan pengrajin datang ke Ryukyu untuk memperagakan kebolehan dalam politik dan teknik perkapalan. Dipercaya mereka juga memperkenalkan Kenpo Cina pada penduduk lokal.

Selanjutnya masyarakat Ryukyu mengembangkan teknik bela diri yang mereka sebut dengan istilah “te” yang secara harfiah berarti “tangan” atau “tote” (ada yang menyebutnya tode, toude, toudi) yang berarti “Teknik Cina”. Sebagai perwujudan dari Kenpo Cina, teknik dalam tote jelas kental dengan bela diri ala Tiongkok. Namun demikian para sejarawan meyakini bahwa tote menjadi pendahulu dari karate. 

Saat itu Ryukyu terbagi menjadi tiga kerajaan (sanzan) yang masing-masing berdiri sendiri yaitu; Chuzan di pusat, Nanzan di selatan dan Hokuzan di utara. Ketiganya saling bersaing dan ingin menunjukkan dominasinya. Hingga akhirnya Chuzan berhasil menang dari dua pesaingnya, seluruh wilayah Ryukyu kemudian diunifikasi/disatukan oleh Raja Shou Hashi (1406 – 1469) di tahun 1429.

Di masa pemerintahan Raja Shou Shin (1465 – 1526) diberlakukan kebijakan non militeristik. Tujuannya adalah menghindari persaingan antar kerajaan yang menjurus pada peperangan. Realisasinya adalah larangan bagi masyarakat untuk membawa atau menggunakan senjata. Untuk mempertegas larangan itu sang raja membuat semacam undang-undang. Hasilnya Ryukyu mengalami masa damai selama 200 tahun sejak larangan itu ditetapkan.


INVASI SAMURAI JEPANG
 

Tahun 1598 Tokugawa Ieyasu ingin memulihkan hubungan baik Jepang dengan Tiongkok. Ketegangan sempat terjadi antara dua wilayah itu setelah pasukan samurai Jepang di masa pemerintahan Toyotomi Hideyoshi memasuki semenanjung Korea. Hideyoshi memang gagal dan namanya menjadi tercemar dalam sejarah Jepang. Saat Ieyasu mengetahui hubungan baik antara Ryukyu dan Tiongkok, maka ia mengajukan permintaan pada Raja Ryukyu untuk bergabung menjadi bagian pemerintah Shogunate Jepang.

Demi memenuhi ambisinya, Ieyasu meminta bantuan samurai klan Satsuma dari Kyushu utara (sekarang Prefektur Kagoshima) sebagai wakil mediasinya. Karena dianggap menghina, proposal itu ditolak oleh Raja Ryukyu. Ketika sudah tidak mungkin lagi menundukkan Ryukyu tanpa kekerasan, Ieyasu mengijinkan kelompok Satsuma menjalankan upaya invasi di bulan Maret 1609.

 Makam keluarga Samurai Shimazu di Gunung Koya. Foto berasal dari Wikipedia

Dengan dipimpin oleh Shimazu Iehisa, kelompok Satsuma memasuki wilayah Ryukyu lewat dermaga Unten di pulau Amami dengan membawa tidak kurang dari 3.000 pasukan. Mereka mendapat perlawanan sengit di Naha yang menjadi pintu gerbang Ryukyu. Tapi perlawanan itu gagal karena penduduk lokal tidak punya pengalaman perang. Ditambah lagi larangan penggunaan senjata membuat Ryukyu tidak punya senjata yang cukup. Setelah dikepung selama 10 hari, Ryukyu akhirnya berhasil dikuasai oleh kelompok Satsuma.

Satsuma terkenal sebagai samurai kejam dan berhasil meraih banyak kemenangan. Konon Toyotomi Hideyoshi kesulitan mendirikan pemerintahan Shogunate juga karena keberadaan kelompok ini. Setelah berhasil menguasai Ryukyu, mereka berkeliling untuk mengumpulkan sumber dayanya. Mereka juga menarik pajak berupa beras dari penduduk lokal. Untuk mencegah perlawanan, kelompok Satsuma merampas semua senjata dari tangan penduduk. Mereka yang ketahuan membawa, menyimpan dan menggunakan senjata akan segera dihukum.

Akibat peraturan sepihak itu sangat sulit menemukan peralatan yang terbuat dari logam. Raja Ryukyu kemudian dipaksa menanda tangani semacam perjanjian kesetiaan dengan kelompok Satsuma. Sebagai gantinya, mereka akan mengembalikan pulau-pulau lain kecuali Pulau Amami. Dengan kata lain, Raja Ryukyu masih berkuasa meskipun tidak penuh. (Bersambung – Indoshotokan)