KONTEN DILINDUNGI HAK CIPTA. DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGEDIT DAN MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH HALAMAN SITUS INI TANPA IJIN.

Cari Artikel

KARATE: ANTARA MITOS DAN LEGENDA (3)

Mengetahui wilayahnya dikuasai penjajah, penduduk Ryukyu tidak tinggal diam. Karena senjata apapun dilarang, mereka mengembangkan bela diri yang mengandalkan tangan kaki. Untuk menghindari intaian, latihan biasanya dilakukan malam hari dan di tempat tertentu. Tidak seperti sekarang dimana sebuah perguruan mempunyai dojo tetap, di masa itu tempatnya berpindah-pindah. Bahkan karena sangat dirahasiakan, sesama ahli bela diri saat itu tidak akan bercakap-cakap tentang ilmunya di muka umum.

Di masa itu pula tidak jarang sesama ahli bela diri terlibat dalam pertarungan dengan resiko hidup dan mati. Sebuah prinsip lama yang berkembang dalam dunia bela diri Ryukyu adalah “isshi-soden” yang artinya teknik bela diri hanya akan diterima oleh ahli warisnya. Yang dimaksud ahli waris disini belum tentu keturunan atau keluarga dari sang ahli bela diri. Orang luar yang tidak ada hubungan darahpun bisa menerima teknik rahasia jika si ahli merasa calon muridnya itu memang layak.


SHURI-TE, NAHA-TE DAN TOMARI-TE
 

Tahun 1729 peran samurai Satsuma di Ryukyu berakhir dan membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Sementara itu dalam dunia bela diri sejak tidak ada lagi musuh bersama, muncullah persaingan antar wilayah. Biasanya setiap wilayah mempunyai jagoan terkuat yang mewakili daerahnya melawan juara dari wilayah lain dalam sebuah pertandingan terbuka.  Ada tiga kelompok terkuat yaitu Shuri-te, Naha-te dan Tomari-te.

Shuri-te, teknik ini berkembang di wilayah Shuri yang menjadi ibu kota Ryukyu saat itu. Di sana pula para raja dan bangsawan tinggal. Shuri-te mengandalkan kombinasi kecepatan dan kelincahan. Ada teori menyatakan jika Shuri-te dipengaruhi teknik dari Tiongkok utara terutama Shaolin. Gerakan kaki condong membentuk garis lurus dan gaya Shuri-te cenderung lebih menyerang. Pernapasan dilakukan secara alamiah dan tanpa variasi khusus. Di kemudian hari Shuri-te akan berkembang menjadi Shorin-ryu.


Naha-te, teknik ini berkembang di Naha yang merupakan kota pelabuhan yang ramai. Tekniknya sarat dengan pernapasan karena dipengaruhi Taoisme. Kebalikan dari Shuri-te, Naha-te dipengaruhi oleh teknik Tiongkok selatan. Ada juga gaya lain yang mempengaruhinya seperti Hsing-I dan Pakua.  Gerakan Naha-te cenderung lebih bertahan namun tetap fleksibel. Di kemudian hari Shuri-te akan berkembang menjadi Shorei-ryu dan Goju-ryu.

Tomari-te, teknik ini berkembang di Tomari, sebuah kota pelabuhan kecil yang dekat dengan Shuri. Mirip dengan Shuri-te, teknik dalam Tomari-te juga menonjolkan kecepatan. Ada juga teori lain menyebutkan jika Tomari-te dipengaruhi oleh Naha-te. Dasarnya adalah salah satu versi kata Seishan yang sarat pernapasan. Banyak yang menyimpulkan Tomari-te di kemudian hari bergabung dengan Shuri-te menjadi Shorin-ryu.


PARA TOKOH PERINTIS
 

Saat itu tersebutlah nama Sakugawa Kanga (1733 – 1815) dari Akata yang menurut legenda menjadi tokoh awal perkembangan karate. Tidak banyak memang, yang bisa diceritakan dari Sakugawa. Mulanya Sakugawa tidak berniat belajar bela diri hingga ayahnya mati dibunuh sekelompok penjahat. Dia lalu belajar pada Takahara Peichin (1683 – 1760) selama enam tahun. Takahara adalah seorang biksu, ahli perbintangan dan kartografer (pembuat peta). Sedangkan Peichin adalah semacam gelar yang membuktikan kepiawaiannya. Sebelum mati Takahara memberi nasihat pada Sakugawa agar meningkatkan ilmunya dengan belajar pada Kusanku.

Konon Kusanku (atau Kwang Shang Fu; Kung Hsiang Chung) adalah ahli Chuan Fa yang tengah bertugas sebagai atase militer di Ryukyu. Saat masa tugasnya usai, Kusanku kembali ke Tiongkok dan Sakugawapun mengikutinya selama enam tahun. Demi mengingat gurunya, Sakugawa menciptakan kata Kushanku yang sekarang banyak versinya. Sekembalinya ke Ryukyu, Sakugawa sudah menjadi seorang yang ahli bela diri. Masyarakat lokal memberinya julukan “Tode.” Bahkan sang raja memberi gelar “Satonushi” atau “Satonuku” (semacam peringkat) dan mengangkatnya sebagai kepala pasukan di Shuri. Sakugawa adalah orang yang menetapkan etika dojo (Dojo Kun), atau sikap yang wajib dilakukan praktisi karate sebelum dan sesudah latihan di dojo.

Salah satu murid Sakugawa yang paling terkenal adalah Sokon Matsumura (1797 – 1889) yang dianggap sebagai Miyamoto Musashinya Ryukyu. Selama 20 tahun lamanya Matsumura juga belajar bela diri di Tiongkok. Ada kisah unik ketika Matsumura ingin menikahi seorang gadis bernama Yonamine Chiru. Ketika itu Matsumura baru berumur 18 tahun dan si gadis berasal dari keluarga yang hebat seni bela dirinya. Yonamine menolak dinikahi jika Matsumura tidak mampu mengalahkannya. Pertarungan itu sebenarnya tradisi yang lazim dalam budaya lama. Meskipun akhirnya menang, Matsumura sendiri baru menikahi Yonamine tiga tahun kemudian. (Bersambung - Indoshotokan)