Ada juga cerita lain yang mengisahkan tentang seorang ahli Gidayu (admin: seniman syair Jepang). Ketika masih pemula dia belajar melantunkan cerita narasi yang panjang. Dia mempunyai seorang guru yang keras, yang selama bertahun-tahun menolak mengajarinya baris sajak dari Taikoki, sebuah drama yang menceritakan kehidupan Toyotomi Hideyoshi. Ratusan kali dalam sehari, hari demi hari, sang murid harus melantunkan baris yang sama. Dan tiap kali gurunya hanya menjawab, “Masih belum cukup,” dia tidak akan mengijinkan sang murid melanjutkan ke bagian berikutnya.
Akhirnya, sang murid yang jengkel tadi merasa jika dia tidak cocok untuk pekerjaan itu dan kemudian di tengah malam dia melarikan diri demi mencoba hal lain yang lebih menyenangkan di ibu kota Shogun di Edo. Di tengah perjalanan dia menginap di Propinsi Suruga (sekarang Prefektur Shizuoka) dimana sekelompok penggemar Gidayu tengah menggelar kontes amatir. Merasa masih lekat dengan seni yang telah lama dipelajarinya, sang murid tadi tidak bisa menahan diri untuk bergabung. Walaupun orang asing, dia naik ke panggung dan melantunkan satu-satunya bait yang dia tahu dengan sepenuh hati.
Ketika sudah selesai dia didekati oleh orang tua yang mensponsori kontes itu. “ Sungguh, benar-benar indah.” Kata pria tua itu. “Saya ingin tahu nama asli Anda. Kecuali mata dan telingaku yang salah, Anda pastilah seorang master yang ternama.”
Si mantan murid tadi merasa bingung untuk menjawab pujian itu. Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata, “Saya tidak bisa menyembunyikan apapun, tapi peringkat saya masih pemula. Saya akui jika saya bahkan tidak tahu baris sebelum dan sesudah yang baru saja saya lantunkan.” Orang tua tadi terlihat sangat terkejut. “Benarkah itu? Tapi keahlianmu setara dengan para master Bunraku. Siapa sebenarnya gurumu?”
Sang murid kemudian bercerita tentang latihannya yang sangat berat dan bagaimana dia akhirnya menyerah dan melarikan diri. Sambil menghela napas, orang tua itu berkata, “Anda telah membuat kesalahan besar. Justru karena Anda telah diberkati oleh seorang guru yang keras yang membuat Anda bisa belajar banyak hal dalam waktu yang begitu singkat. Dengarkan nasihatku: segeralah kembali pada gurumu, minta maaflah padanya dan lanjutkan pelajaranmu.”
Mendengar nasihat orang tua tadi, sang murid tiba-tiba menyadari kesalahannya dan kembali pada gurunya. Pada akhirnya dia menjadi seorang master dalam seni yang dipelajarinya. Kurasa cerita ini tidak lain tentang Master Koshiji, namun siapapun itu, banyak hal dalam cerita ini yang patut untuk direnungkan.
Keempat, jangan berpura-pura untuk menjadi seorang master hebat dan jangan coba-coba memamerkan kekuatanmu. Hal yang menggelikan jika kebanyakan orang yang berlatih seni bela diri merasa harus menunjukkan diri sebagai seorang seniman bela diri. Bayangkan seorang laki-laki yang bahunya diangkat tinggi-tinggi, sikunya mengayun, berjalan dengan sombong di jalanan seolah dialah pemiliknya, dengan ekspresi di wajahnya, “Akulah pahlawan terhebat yang pernah ada.”
Seandainya hal itu memang benar adanya, orang lain akan menghormatinya hanya sesaat. Dan tentu saja, dia bukanlah orang yang hebat kemampuannya melainkan hanya pahlawan palsu. Situasi seperti itu sangat konyol untuk diucapkan dengan kata-kata.
Seorang pemula biasanya cenderung ingin tampil lebih besar atau lebih superior. Dengan bertingkah laku seperti ini mereka sudah menurunkan dan merusak nama baik mereka yang serius berlatih seni bela diri. Kemudian ada juga mereka yang hanya tahu satu atau dua teknik karate, mengepalkan tinjunya sedemikian rupa demi menarik perhatian di tengah kerumunan orang untuk mencari keributan. Benar-benar sebuah kebodohan yang sulit untuk diungkapkan.
“Senyumnya bahkan bisa memenangkan hati anak-anak kecil; kemarahannya bisa membuat seekor harimau menunduk ketakutan.” Inilah gambaran singkat seorang ahli bela diri yang sejati. (Bersambung – Indoshotokan).
Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-do Nyumon” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dari Bab VII dengan judul aslinya “Training Precepts of Karate-do”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.
Akhirnya, sang murid yang jengkel tadi merasa jika dia tidak cocok untuk pekerjaan itu dan kemudian di tengah malam dia melarikan diri demi mencoba hal lain yang lebih menyenangkan di ibu kota Shogun di Edo. Di tengah perjalanan dia menginap di Propinsi Suruga (sekarang Prefektur Shizuoka) dimana sekelompok penggemar Gidayu tengah menggelar kontes amatir. Merasa masih lekat dengan seni yang telah lama dipelajarinya, sang murid tadi tidak bisa menahan diri untuk bergabung. Walaupun orang asing, dia naik ke panggung dan melantunkan satu-satunya bait yang dia tahu dengan sepenuh hati.
Ketika sudah selesai dia didekati oleh orang tua yang mensponsori kontes itu. “ Sungguh, benar-benar indah.” Kata pria tua itu. “Saya ingin tahu nama asli Anda. Kecuali mata dan telingaku yang salah, Anda pastilah seorang master yang ternama.”
Si mantan murid tadi merasa bingung untuk menjawab pujian itu. Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata, “Saya tidak bisa menyembunyikan apapun, tapi peringkat saya masih pemula. Saya akui jika saya bahkan tidak tahu baris sebelum dan sesudah yang baru saja saya lantunkan.” Orang tua tadi terlihat sangat terkejut. “Benarkah itu? Tapi keahlianmu setara dengan para master Bunraku. Siapa sebenarnya gurumu?”
Sang murid kemudian bercerita tentang latihannya yang sangat berat dan bagaimana dia akhirnya menyerah dan melarikan diri. Sambil menghela napas, orang tua itu berkata, “Anda telah membuat kesalahan besar. Justru karena Anda telah diberkati oleh seorang guru yang keras yang membuat Anda bisa belajar banyak hal dalam waktu yang begitu singkat. Dengarkan nasihatku: segeralah kembali pada gurumu, minta maaflah padanya dan lanjutkan pelajaranmu.”
Mendengar nasihat orang tua tadi, sang murid tiba-tiba menyadari kesalahannya dan kembali pada gurunya. Pada akhirnya dia menjadi seorang master dalam seni yang dipelajarinya. Kurasa cerita ini tidak lain tentang Master Koshiji, namun siapapun itu, banyak hal dalam cerita ini yang patut untuk direnungkan.
Keempat, jangan berpura-pura untuk menjadi seorang master hebat dan jangan coba-coba memamerkan kekuatanmu. Hal yang menggelikan jika kebanyakan orang yang berlatih seni bela diri merasa harus menunjukkan diri sebagai seorang seniman bela diri. Bayangkan seorang laki-laki yang bahunya diangkat tinggi-tinggi, sikunya mengayun, berjalan dengan sombong di jalanan seolah dialah pemiliknya, dengan ekspresi di wajahnya, “Akulah pahlawan terhebat yang pernah ada.”
Seandainya hal itu memang benar adanya, orang lain akan menghormatinya hanya sesaat. Dan tentu saja, dia bukanlah orang yang hebat kemampuannya melainkan hanya pahlawan palsu. Situasi seperti itu sangat konyol untuk diucapkan dengan kata-kata.
Seorang pemula biasanya cenderung ingin tampil lebih besar atau lebih superior. Dengan bertingkah laku seperti ini mereka sudah menurunkan dan merusak nama baik mereka yang serius berlatih seni bela diri. Kemudian ada juga mereka yang hanya tahu satu atau dua teknik karate, mengepalkan tinjunya sedemikian rupa demi menarik perhatian di tengah kerumunan orang untuk mencari keributan. Benar-benar sebuah kebodohan yang sulit untuk diungkapkan.
“Senyumnya bahkan bisa memenangkan hati anak-anak kecil; kemarahannya bisa membuat seekor harimau menunduk ketakutan.” Inilah gambaran singkat seorang ahli bela diri yang sejati. (Bersambung – Indoshotokan).
Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-do Nyumon” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dari Bab VII dengan judul aslinya “Training Precepts of Karate-do”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.