Beberapa anak muda yang antusias dengan karate percaya bahwa karate hanya bisa dipelajari lewat instruktur di dojo. Tetapi orang-orang seperti itu hanya pandai teknik, dan bukan karateka sejati. Ada sebuah nasihat Buddhist mengatakan, “semua tempat bisa menjadi dojo,” dan ada pepatah berkata siapapun yang mengikuti jalan karate tidak boleh melupakan hal ini. Karate bukan sekedar memperoleh seninya saja, melainkan bagaimana menjadi anggota masyarakat yang baik dan jujur.
Kita menyapa teman-teman dengan berkata, “selamat pagi” atau “selamat sore” dan kita menyesuaikan dengan keadaan. Ini adalah hal yang biasa, dan daripada membicarakan masalah ini, bukankah kita lebih baik membicarakan hal lain yang jauh lebih penting?
Di jaman kita yang liberalisme dan demokrasi, aku tidak merasa keberatan jika dianggap kuno atau bahkan berlebihan jika menyarankan sopan santun yang ditunjukkan pada tetangga dan teman juga dilakukan pada anggota keluarga kita. Inilah yang aku yakini. Namun demikian, kita harus menunjukkan perhatian lebih pada orang tua, kakek-nenek, kepada kakak dan adik-adik kita. Ini adalah sesuatu yang seringkali kita lupakan.
Anak-anak muda harus menunjukkan perhatian lebih untuk keluarga mereka, dan ini sudah jelas hal yang penting bukan hanya bagi praktisi karate tapi juga seluruh umat manusia. Pikiran seorang karateka sejati harus dijiwai dengan hal semacam itu sebelum dia mengalihkan perhatiannya pada tubuhnya dan memperbaiki tekniknya. Mencintai karate, mencintai diri sendiri, mencintai keluarga dan teman-teman; semua pada akhirnya akan mencintai negaranya. Arti sebenarnya dari karate hanya bisa dipahami melalui cinta seperti itu.
Kita ambil saja contoh, satu kejadian yang umum sehari-hari; berkunjung ke pemandian umum. Aku yakin siapapun pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan. Aku sering mendapati gayung kayu yang baru digunakan orang lain berisi air kotor. Ini berarti sebelum bisa memakainya, orang harus membersihkan bekas air kotor orang lain. Orang sebelumnya yang meninggalkan air kotor sudah jelas tidak mempunyai sopan santun.
Sementara itu beberapa orang membawa handuk tangan mereka ke pemandian umum, kemudian melakukan hal yang menjengkelkan dengan membasuh badan mereka di air yang digunakan orang lain berendam. Beberapa laki-laki yang ingin bercukur mendapati ternyata cerminnya sedang digunakan orang lain. Bukannya menunggu, mereka memilih melakukan hal yang berbahaya. Bercukur tanpa memperoleh penglihatan yang jelas dari cermin. Siapapun yang tahu sopan santun setelah berpakaian akan mengembalikan keranjang bekas pakaian ke tempat asalnya daripada merepotkan penjaga pemandian. Pemandian umum adalah tempat terbaik di dunia yang menunjukkan bagaimana karakter orang sebenarnya.
Aku tidak begitu ingat sudah berapa lama sejak kubaca riwayat Seiji Noma, pendiri Kodansha (penerbit). Tapi aku tidak pernah lupa isinya dan aku menyadari belajar banyak hal dari buku itu.
Sebuah baris yang benar-benar kuingat, “Biasanya aku pergi ke pemandian umum setiap sore.” Demikian dia menulisnya. “Setiap kali aku masuk, si penjaga akan menyapaku dengan kalimat ‘Selamat datang’. Dan ketika aku akan meninggalkan tempat itu dia akan berkata ‘Terima kasih banyak’. Untuk waktu yang lama aku tidak pernah berpikir untuk membalas salamnya. Tapi tiba-tiba kusadari akan menjadi hal yang sopan jika melakukannya. “
Dia lalu menggarisbawahi betapa pentingnya membalas ucapan salam seperti itu, dan kemudian aku menggunakan nasihatnya dalam latihan setiap hari. Saat masuk ke pemandian umum, kudengar salam selamat datang yang kemudian kubalas dengan senyuman dan ucapan "Selamat sore.” Penjaga pemandian sedikit terkejut dengan jawaban yang tidak biasa dariku, dan kemudian membalas senyumku. Ketika akan pulang aku berkata, “Selamat malam” untuk membalas ucapan “Terima kasih” darinya. Sejak itu penjaga pemandian menjadi lebih ramah padaku. Nada suaranya yang sebelumnya sedikit acuh, menjadi hangat dan lebih akrab. Dan berkunjung ke pemandian umum bagiku menjadi lebih dari sekedar rutinitas harian.
Satu hal yang selalu kukatakan pada murid-murid baruku adalah orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan seenaknya pada orang lain tidak layak belajar karate-do. Aku menemukan bahwa mereka yang serius belajar karate-do selalu mempunyai perhatian pada orang lain. Mereka juga menunjukkan ketabahan yang luar biasa, karena tujuan seseorang untuk terus belajar karate-do membutuhkan waktu yang sangat lama.
Tiap tahun di bulan April sangat banyak murid baru dari jurusan pendidikan jasmani universitas yang mengikuti kelas karate. Kebanyakan dari mereka, untungnya, mempunyai dua tujuan yaitu demi membentuk fisik dan mental sama baiknya. Namun demikian, selalu ada saja beberapa murid yang ingin menggunakan karate untuk berkelahi. Mereka hampir bisa dipastikan akan keluar dari latihan sebelum setengah tahun berlalu. Karena latihan tidak mungkin bagi anak-anak muda dengan tujuan bodoh seperti itu untuk bertahan dalam waktu yang lama dalam karate.
Hanya mereka dengan cita-cita yang tinggi yang menemukan karate layak dilakukan dan bertahan dalam latihan berat yang menyertainya. Mereka yang melakukannya akan menemukan bahwa semakin keras mereka berlatih, semakin menakjubkan seni itu jadinya. (Indoshotokan)
Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari buku “Karate-Do: My Way of Life” yang ditulis oleh Gichin Funakoshi dengan judul aslinya “Courtesy”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.