Beberapa waktu yang lalu Indoshotokan telah mengupas kisah tokoh karate Okinawa yaitu Ankoh Itosu. Ada satu lagi legenda karate yang sering disebut namanya, tapi sangat sedikit orang yang tahu kisahnya. Orang itu tidak lain adalah Yasutsune Azato yang merupakan kawan dari Itosu sekaligus pasangan emas dalam sejarah karate Okinawa. Azato juga diakui sebagai salah satu ahli karate setelah era Sokon Matsumura berakhir. Sebagai buktinya, Azato juga diberi gelar “Bushi” yang menunjukkan ketangguhannya.
Selain ahli bela diri, Azato juga dikenal sebagai seorang politikus handal. Perannya yang besar dalam sejarah Okinawa tampak saat pergolakan akibat Restorasi Meiji. Sifat Azato yang mengutamakan kalangan akar rumput membuatnya begitu dihormati. Sayangnya tulisan yang menjelaskan figur Azato nyaris tidak ada. Apalagi untuk lukisan, gambar atau foto yang menerangkan sosoknya juga tidak pernah ditemukan. Sehingga petunjuk terbesar berasal dari kisah murid satu-satunya, yaitu Gichin Funakoshi.
SI BOCAH AJAIB
Yasutsune Azato, kadang disebut Ankoh Azato atau yang lainnya Anko Asato, lahir tahun 1827 di sebuah desa yang letaknya antara Shuri dan Naha. Keluarga Azato masih termasuk dalam golongan Tonichi, yaitu satu dari golongan Shizoku yang sekelas dengan bangsawan. Saat itu Tonochi juga menjabat sebagai pemimpin wilayah sebuah desa atau kota kecil.
Sejak anak-anak Azato sudah terkenal berkat kepandaiannya hingga dijuluki si bocah ajaib. Bukan hanya teman-temannya, bahkan gurunya sendiri juga kagum padanya. Ini sebetulnya tidak mengejutkan karena orang tua Azato berasal dari kalangan mampu yang bisa memberi pendidikan yang cukup. Banyak buku dari Tiongkok yang sengaja disediakan orang tuanya untuk mendukung pendidikan Azato. Biaya yang dibutuhkan jelas tidak sedikit dan hanya segelintir masyarakat Okinawa yang bisa melakukannya.
Karena kecerdasannya itu Azato menerima beasiswa dari sekolahnya. Yang mengagumkan, biarpun sudah lulus dari sekolahnya Azato tetap gemar membaca. Azato memang tipikal anak yang suka belajar hal-hal baru. Tapi minat terbesar tampak pada bela diri dan filsafat Tiongkok. Ini bisa dilihat dari kebiasaannya membaca buku Tiongkok klasik seperti “Seni Perang” karya Sun Tzu, “Enam Taktik Perang” karya Lao Tsu, dan sederet buku filsafat lainnya.
Tidak hanya otaknya yang cerdas, Azato juga mempunyai tubuh yang kuat. Ketika remaja Azato sudah mendemonstrasikan kekuatannya dalam sebuah “ujian”. Dalam buku “Karate-do Tanpeshu” Funakoshi menceritakan Azato harus berjalan kaki dari Kyozuka menuju rumahnya yang berjarak sekitar empat kilometer. Bukan cuma berjalan kaki, karena Azato harus memikul dua batu besar seberat masing-masing 30 kg di pundaknya. Masyarakat Okinawa saat itu memang mempunyai tradisi yang unik yaitu menguji fisik anak laki-laki yang akan beranjak dewasa.
Sejak anak-anak Azato sudah terkenal berkat kepandaiannya hingga dijuluki si bocah ajaib. Bukan hanya teman-temannya, bahkan gurunya sendiri juga kagum padanya. Ini sebetulnya tidak mengejutkan karena orang tua Azato berasal dari kalangan mampu yang bisa memberi pendidikan yang cukup. Banyak buku dari Tiongkok yang sengaja disediakan orang tuanya untuk mendukung pendidikan Azato. Biaya yang dibutuhkan jelas tidak sedikit dan hanya segelintir masyarakat Okinawa yang bisa melakukannya.
Karena kecerdasannya itu Azato menerima beasiswa dari sekolahnya. Yang mengagumkan, biarpun sudah lulus dari sekolahnya Azato tetap gemar membaca. Azato memang tipikal anak yang suka belajar hal-hal baru. Tapi minat terbesar tampak pada bela diri dan filsafat Tiongkok. Ini bisa dilihat dari kebiasaannya membaca buku Tiongkok klasik seperti “Seni Perang” karya Sun Tzu, “Enam Taktik Perang” karya Lao Tsu, dan sederet buku filsafat lainnya.
Tidak hanya otaknya yang cerdas, Azato juga mempunyai tubuh yang kuat. Ketika remaja Azato sudah mendemonstrasikan kekuatannya dalam sebuah “ujian”. Dalam buku “Karate-do Tanpeshu” Funakoshi menceritakan Azato harus berjalan kaki dari Kyozuka menuju rumahnya yang berjarak sekitar empat kilometer. Bukan cuma berjalan kaki, karena Azato harus memikul dua batu besar seberat masing-masing 30 kg di pundaknya. Masyarakat Okinawa saat itu memang mempunyai tradisi yang unik yaitu menguji fisik anak laki-laki yang akan beranjak dewasa.
BERLATIH DENGAN SOKON MATSUMURA
Pada masa itu Sokon Matsumura adalah ahli bela diri terbaik di Okinawa. Karena itu wajar jika banyak pemuda yang bermimpi bisa menjadi muridnya. Tapi tidak semuanya beruntung karena sang guru selalu memilih calon muridnya. Kenyataan ini bertolak belakang dengan jaman sekarang dimana orang bisa dengan bebas memilih bela diri manapun yang disukainya. Apa yang terjadi di Okinawa saat itu menyiratkan pesan bahwa sebuah bela diri layaknya sebilah pedang. Tidak sembarang orang boleh menguasainya, karena jika tidak justru membawa malapetaka.
Takdir sepertinya telah mempertemukan Azato dan Matsumura. Setelah mengamati dengan teliti, Matsumura bersedia menerima Azato. Tidak hanya itu, Azato juga bertemu dengan Itosu yang kelak menjadi teman terbaiknya. Setelah menjadi murid sang legenda, tiada hari dilewati Azato dan Itosu tanpa latihan berat. Funakoshi menceritakan jika keduanya harus bangun sebelum fajar dan baru berhenti latihan ketika matahari sudah tinggi. Yang mengagumkan, walau ditempa dalam keadaan seperti itu, Azato tidak pernah mengeluh dan menjalaninya dengan sabar. (Bersambung – Indoshotokan)
Takdir sepertinya telah mempertemukan Azato dan Matsumura. Setelah mengamati dengan teliti, Matsumura bersedia menerima Azato. Tidak hanya itu, Azato juga bertemu dengan Itosu yang kelak menjadi teman terbaiknya. Setelah menjadi murid sang legenda, tiada hari dilewati Azato dan Itosu tanpa latihan berat. Funakoshi menceritakan jika keduanya harus bangun sebelum fajar dan baru berhenti latihan ketika matahari sudah tinggi. Yang mengagumkan, walau ditempa dalam keadaan seperti itu, Azato tidak pernah mengeluh dan menjalaninya dengan sabar. (Bersambung – Indoshotokan)