Menyusul live action pertamanya, film kedua yang diadaptasi dari manga Hajime Isayama yang berjudul Shingeki no Kyojin: Attack on Titan – End of the World dirilis di Jepang tanggal 19 September 2015. Film berdurasi 87 menit ini masih menceritakan perjuangan tiga sahabat; Eren, Armin dan Mikasa yang mewakili umat manusia melawan para raksasa. Film pertamanya cukup sukses meskipun tidak begitu fenomenal. Banyak penggemar berharap ada misteri yang terkuak di film keduanya seperti; Siapa sebenarnya para Titan? Darimana mereka berasal? Bagaimana manusia bisa membangun dinding yang sangat tinggi? dsb. Review ini akan disertai spoiler ending kedua filmya. Bagi sobat Indoshotokan yang belum nonton dan ingin merasakan keseruan filmnya boleh saja melewatkan artikel ini.
Berjuang mati-matian dengan menggunakan Maneuver Gear miliknya, Eren Yeager akhirnya mengerti mengapa kelemahan para Titan berada di tengkuknya. Tapi aksi heroik Eren membabat monster tinggi menjulang itu tidak berlangsung lama. Dia berhasil ditangkap dan ditelan oleh salah satu Titan. Teman-temannya mengira Eren sudah tewas. Tapi ajaibnya dia bangkit kembali dalam bentuk Titan dan membunuh raksasa lainnya. Amukan Eren dalam wujud Titan berhasil membuat ciut nyali raksasa lainnya dan merekapun melarikan diri. Umat manusia merasa gembira karena mereka akhirnya mendapatkan sekutu yang tangguh.
Tapi tidak semua orang senang karena berpikir kemampuan Eren bisa menjadi ancaman bagi manusia. Setelah pingsan karena menggunakan tenaganya untuk mengendalikan Titan, Eren ditangkap oleh sekelompok polisi militer pimpinan Kubal (Jun Kunimura). Dia dijebloskan ke sebuah sel penjara dalam tubuh terikat kuat dan mulutnya dibungkam. Eren diinterogasi di pihak mana dia akan memilih. Ketika akan ditembak mati, tiba-tiba Armored Titan menyerang penjara dan menewaskan banyak polisi militer. Eren direnggut oleh Titan itu dan banyak orang yakin jika dia sudah menemui ajalnya.
Polisi militer yang tersisa kemudian meneruskan misi awal mereka yang gagal yaitu menutup lubang besar di tembok distrik Maria. Di film sebelumnya Colossal Titan melubangi tembok itu dan membuka jalan bagi Titan lainnya. Armin tiba-tiba ingat dengan sebuah bom besar di kampung halaman mereka di Monzen. Yakin jika daya ledaknya bisa meruntuhkan tembok, Armin kembali ke Monzen demi mengambil bom peninggalan perang itu.
Sementara itu Eren siuman di sebuah ruangan aneh berwarna putih dengan diiringi alunan lagu lawas “The End of The World” dari Skeeter Davis. Kapten Shikishima yang eksentrik tiba-tiba muncul entah darimana. Dia menjelaskan pada Eren bagaimana pemerintah Amerika menciptakan Titan. Shikishima lalu mengutarakan ide gilanya pada Eren yaitu menggali bom peninggalan Amerika dan meledakkannya untuk memancing para Titan ke tengah distrik sehingga manusia bisa menyelamatkan diri. Eren tidak setuju dengan ide itu dan lebih memilih menggunakan bom untuk memperbaiki lubang besar di distrik Maria.
Sementara itu Hanji dan kelompoknya berhasil mendapatkan bom dari Monzen. Ketika mereka akan membawa bom itu ke distrik Maria, di tengah jalan mereka dihentikan Shikishima dan pasukannya. Demi melindungi bom itu Eren bertempur menghadapi Shikishima. Mereka berhasil lolos dari Shikishima dan pasukannya. Tapi masalah belum berhenti. Baru saja bom selesai ditanam di tembok, tiba-tiba Colossal Titan muncul dan mencoba menghentikan ledakan. Shikishima secara mengejutkan muncul kembali dan bertarung melawan Colossal Titan. Bom itu akhirnya meledak sekaligus melenyapkan Colossal Titan. Dinding kembali tertutup dan sekali lagi umat manusia bisa hidup dengan tenang.
Plot dalam End of the World sebenarnya mudah diikuti, tapi sutradara membuatnya terlalu cepat hingga terkesan terburu-buru dan justru tidak menjawab misteri yang ada. Misalnya; apa sebenarnya ruangan putih yang dimasuki Eren? Siapa sebenarnya Colossal Titan dan Armored Titan? Film ini juga berisi adegan-adegan yang tidak perlu. Di sepuluh menit pertama cerita akan flashback ke film sebelumnya. Buat yang belum nonton hal ini bukan masalah, tapi seharusnya ini bisa disingkat dengan narasi teks saja. Kemudian adegan “pertarungan” Eren dan Shikishima di ruangan aneh berwarna putih juga tidak ada di komiknya. Untuk sekelas live action, gaya koregrafi Shikishima juga terlihat kaku dan justru merusak film ini. Dengan memangkas adegan yang tidak perlu sutradara seharusnya bisa membuat dua film ini menjadi satu film saja. Dua jam lebih, alur cerita padat dan penontonpun puas.
Secara visual film ini juga tidak sebaik yang pertama. Jangan harap penonton melihat hujan darah dan potongan tubuh manusia karena dimangsa Titan. End of the World lebih pas disebut film action ketimbang film horror. Suasana mencekam film pertamanya tidak terasa lagi disini. Apa boleh buat, tapi paling tidak wajah cantik Satomi Ishihara sebagai Hans bisa menyegarkan. Setelah film ini dirilis banyak penggemar di Jepang yang merasa kecewa karenanya. Berkaitan dengan komentar negatif itu sang sutradara sepertinya sudah siap menerimanya. Karena dari awal dia sengaja membawa alur cerita sedikit melenceng dari versi aslinya. Untungnya lagu ending berjudul “SOS” dari Sekai no Owari bisa menjadi penolong film ini. (Indoshotokan)