Banyak orang mengira jika Gichin Funakoshi adalah orang yang merubah makna dan ideogram (huruf kanji) karate. Namun kenyataannya tidaklah demikian, karena sebelumnya sudah ada ahli karate lain yang melakukannya. Seperti diketahui, masyarakat Okinawa di masa lalu sudah mengembangkan teknik bela diri yang lazim mereka sebut dengan “te” atau “tode”. Namun karena serba dirahasiakan tidak banyak informasi yang bisa didapat. Masyarakat saat itu juga tidak menulis “karate” atau nama suatu teknik dalam ideogram yang spesifik.
Sekitar tahun 1905-an barulah muncul penulisan karate yang dilakukan oleh Chomo Hanashiro. Dalam bukunya yang berjudul “Karate Shosu Hen” Hanashiro menggunakan dua huruf yang diucapkan “tode”. Namun huruf pertamanya juga bisa dibaca “kara”. Itulah sebabnya Hanashiro dianggap sebagai pelopor penulisan huruf kanji karate. Yang perlu diingat adalah meskipun huruf yang digunakan Hanashiro bermakna “Teknik Cina” atau “Dinasti T’ang”, tidak pernah ada huruf seperti itu di kamus Tiongkok saat itu.
Tiga tahun kemudian Yasutsune Itosu, sang Bapak Karate Okinawa, mengirim surat pada Menteri Pendidikan Jepang. Dalam surat yang bertajuk Tode Jukun itu Itosu juga menggunakan ideogram yang bermakna Cina yang berbeda dengan milik Hanashiro. Sehingga dapat disimpulkan jika saat itu masih belum ada standar penulisan yang baku untuk ideogram karate.
Beberapa tahun kemudian wacana perubahan ideogram karate kembali mengemuka. Tahun 1922 dalam bukunya yang berjudul “Ryukyu Kenpo: Tode” Gichin Funakoshi memakai ideogram yang hampir sama dengan yang pernah ditulis Hanashiro. Tapi milik Funakoshi berbeda pada salah satu hurufnya. Dan karena saat itu Funakoshi tengah berusaha mempopulerkan karate di Jepang, tindakannya itu memicu gelombang protes dari ahli karate Okinawa. Sehingga ada dua perbedaan penyebutan pada buku Funakoshi saat itu. Yang pertama adalah “Ryukyu Kenpo: Tode” sedang yang kedua adalah “Ryukyu Kenpo: Karate”.
Perdebatan ideogram karate terus berlanjut. Tahun 1929 Funakoshi dan murid-muridnya di Universitas Keio membicarakan perubahan ideogram karate. Dalam diskusi itu mereka setuju merubah ideogramnya menjadi bermakna “Tangan Kosong”. Selain demi meredakan protes, Funakoshi juga berencana merangkum semua artikelnya di surat kabar menjadi sebuah buku. Rencananya buku itu diberi judul “Karate-do Kyohan”. Setelah melalui konsensus, akhirnya disepakatilah penulisan ideogram karate seperti yang lazim terlihat saat ini.
Yang jelas, karate tidak lagi mengandung makna “tangan atau teknik Cina”, karena lebih filosofis. Mengikuti bela diri tradisional Jepang lainnya, Funakoshi juga menambahkan akhiran “do” yang berarti jalan. Istilah “do” juga kental dengan pengaruh Zen dan Budhisme. Dengan demikian, sejak saat itu karate lebih dari sekedar teknik bela diri untuk membunuh lawan (atau disebut karate-jutsu). Karate-do adalah seni bela diri yang mengajak praktisinya menempa fisik dan mental dengan kesempurnaan karakter sebagai tujuan akhir.
Setelah Funakoshi mempublikasikan ideogram karate-do yang baru, tahun 1936 para ahli karate Okinawa bertemu untuk membahas perubahan itu. Acara yang digagas Nakasone Genwa itu disponsori oleh Chofu Ota dari Ryukyu Shinpo, sebuah media surat kabar terkemuka di Okinawa. Meski ada yang bimbang, akhirnya mereka sepakat menerima perubahan itu. Alasannya adalah agar karate menjadi bela diri yang bebas dari unsur Cina dan bisa diterima lebih mudah di Jepang. Dan demikianlah, sejak tahun 1960 ideogram karate-do resmi distandarisasi seperti yang umum digunakan sekarang ini (Indoshotokan).
Sekitar tahun 1905-an barulah muncul penulisan karate yang dilakukan oleh Chomo Hanashiro. Dalam bukunya yang berjudul “Karate Shosu Hen” Hanashiro menggunakan dua huruf yang diucapkan “tode”. Namun huruf pertamanya juga bisa dibaca “kara”. Itulah sebabnya Hanashiro dianggap sebagai pelopor penulisan huruf kanji karate. Yang perlu diingat adalah meskipun huruf yang digunakan Hanashiro bermakna “Teknik Cina” atau “Dinasti T’ang”, tidak pernah ada huruf seperti itu di kamus Tiongkok saat itu.
Tiga tahun kemudian Yasutsune Itosu, sang Bapak Karate Okinawa, mengirim surat pada Menteri Pendidikan Jepang. Dalam surat yang bertajuk Tode Jukun itu Itosu juga menggunakan ideogram yang bermakna Cina yang berbeda dengan milik Hanashiro. Sehingga dapat disimpulkan jika saat itu masih belum ada standar penulisan yang baku untuk ideogram karate.
Beberapa tahun kemudian wacana perubahan ideogram karate kembali mengemuka. Tahun 1922 dalam bukunya yang berjudul “Ryukyu Kenpo: Tode” Gichin Funakoshi memakai ideogram yang hampir sama dengan yang pernah ditulis Hanashiro. Tapi milik Funakoshi berbeda pada salah satu hurufnya. Dan karena saat itu Funakoshi tengah berusaha mempopulerkan karate di Jepang, tindakannya itu memicu gelombang protes dari ahli karate Okinawa. Sehingga ada dua perbedaan penyebutan pada buku Funakoshi saat itu. Yang pertama adalah “Ryukyu Kenpo: Tode” sedang yang kedua adalah “Ryukyu Kenpo: Karate”.
Perdebatan ideogram karate terus berlanjut. Tahun 1929 Funakoshi dan murid-muridnya di Universitas Keio membicarakan perubahan ideogram karate. Dalam diskusi itu mereka setuju merubah ideogramnya menjadi bermakna “Tangan Kosong”. Selain demi meredakan protes, Funakoshi juga berencana merangkum semua artikelnya di surat kabar menjadi sebuah buku. Rencananya buku itu diberi judul “Karate-do Kyohan”. Setelah melalui konsensus, akhirnya disepakatilah penulisan ideogram karate seperti yang lazim terlihat saat ini.
Yang jelas, karate tidak lagi mengandung makna “tangan atau teknik Cina”, karena lebih filosofis. Mengikuti bela diri tradisional Jepang lainnya, Funakoshi juga menambahkan akhiran “do” yang berarti jalan. Istilah “do” juga kental dengan pengaruh Zen dan Budhisme. Dengan demikian, sejak saat itu karate lebih dari sekedar teknik bela diri untuk membunuh lawan (atau disebut karate-jutsu). Karate-do adalah seni bela diri yang mengajak praktisinya menempa fisik dan mental dengan kesempurnaan karakter sebagai tujuan akhir.
Setelah Funakoshi mempublikasikan ideogram karate-do yang baru, tahun 1936 para ahli karate Okinawa bertemu untuk membahas perubahan itu. Acara yang digagas Nakasone Genwa itu disponsori oleh Chofu Ota dari Ryukyu Shinpo, sebuah media surat kabar terkemuka di Okinawa. Meski ada yang bimbang, akhirnya mereka sepakat menerima perubahan itu. Alasannya adalah agar karate menjadi bela diri yang bebas dari unsur Cina dan bisa diterima lebih mudah di Jepang. Dan demikianlah, sejak tahun 1960 ideogram karate-do resmi distandarisasi seperti yang umum digunakan sekarang ini (Indoshotokan).