Sekitar 400 tahun yang lalu, Jepang dengan tegas menguasai Pulau Okinawa. Salah satu peraturannya adalah memaksa masyarakat Okinawa untuk menyerahkan senjata yang mereka miliki pada orang Jepang. Satu dari sekian banyak senjata tersebut adalah sai.
Sai adalah senjata dengan tiga ujung yang digunakan baik untuk menyerang maupun bertahan (mirip pedang) dan bisa juga dilemparkan (mirip tombak). Seorang yang ahli sai biasanya membawa tiga senjata ini. Dua dipegang di tangan, dimana batang senjata posisinya memanjang di lengan bawah dan inti senjata tersembunyi di tangan. Sai ketiga digantung di sabuk sebagai cadangan jika senjata yang lain hilang ketika sedang bertarung atau dilemparkan. Bahkan ada seorang master sai yang mampu menusuk kaki musuh di tanah dengan ujung lancipnya.
Sai sangat efektif melawan serangan tongkat pemukul atau pedang samurai. Batang dari senjata ini akan sanggup mengait pedang, dan dengan putaran kuat dari pergelangan tangan, seorang yang ahli bisa mematahkan pedang menjadi dua. Bagian tengah sai digunakan menusuk saat menyerang balik, atau menyerang ke sasaran bawah dengan batang senjata juga bisa dilakukan.
Bagian bawah dari lengan yang kuat, yang dibentuk lewat latihan, bahkan bisa menggantikan batang dari sai untuk membalikkan serangan dari sebuah tongkat. Tangkisan karate bisa menggantikan sisi yang tajam dari sai untuk mengunci atau menggagalkan serangan. Jari tangan yang diperkuat akan menggantikan ujung lancip dari sai, dan tinju tangan yang dikeraskan bisa menggantikan gagang sai.
Di masa ketika sai masih digunakan di Okinawa, seorang murid yang menyempurnakan teknik sai-nya adalah dengan berlatih kata seperti yang biasa dilakukan murid karate lainnya. Sekarang, karate sudah benar-benar meninggalkan sai, tapi perguruan Uechi-ryu masih menggunakan sai yang menyilang sebagai simbol yang menunjukkan sejarah karate mereka yang unik.
Artikel ini diterjemahkan dari buku “The Way of Karate” yang ditulis oleh George E. Mattson dengan judul aslinya”The Okinawan Sai and it’s Connection with Karate”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.