Berhenti sebentar untuk meluruskan seragamnya, Matsumura melangkah lewat pintu masuk kandang. Para pekerja sangat kaget melihat komandan para pengawal, Matsumura yang hebat tiba-tiba muncul di kandang.
“Aku penjaga kandang ini,” orang tua itu berkata.
“Apa yang bisa kubantu, tuan?”
“Antarkan aku ke lembu jantan itu,” Matsumura memerintahkan.
“Aku ingin melihat sendiri lawanku, belajar gaya bertarungnya sebelum aku menjadi lawannya.”
“Tentu saja, Tuan Matsumura,” Penjaga kandang itu menunjuk ke sebuah kurungan di kandang belakang.
“Silahkan, tuan.”
Matsumura berjalan ke kurungan, matanya tertuju pada lembu jantan itu. “Ikat dia,” Matsumura memberi perintah. “Ikat binatang itu supaya tidak bisa bergerak.”
“Baik, tuan.” Si penjaga membentangkan dua utas tali. Satu persatu dia lingkarkan di atas kepala binatang itu dan mengikatnya dengan kuat ke balok kayu di sisi kurungan.
“Sekarang pergilah,” Matsumura memerintahkan. “Kalian semua tinggalkan tempat ini.” Orang-orangpun bergegas keluar dari kandang.
Matsumura melompat masuk ke dalam kurungan. Lembu jantan itu terikat kuat dengan tali. “Tali itu sepertinya tidak terlalu kuat.” Matsumura bicara pada dirinya sendiri. “Jika binatang itu sampai lepas, dia akan menjebakku di dalam kurungan. Rasa takut muncul dalam dirinya, perutnya seolah diputar dan dicengkeram oleh tangan yang kuat. Matsumura mengambil napas dalam-dalam dan menghadapi lembu jantan itu, melawan rasa takutnya.
“Raja memintaku untuk mengalahkanmu. Tapi kau bukan musuhku.” Matsumura mengulurkan rambut ikatnya yang disisir rapi di atas kepalanya. Dia mencabut sebuah jepit rambut dan mencoba ujungnya di sebelah jarinya yang baru tertusuk duri. Sebuah titik berdarahpun muncul. Matsumura pernah mendengar para ahli bela diri yang bisa membunuh dengan sebuah jepit rambut. Tapi dia berharap bisa menyelamatkan satu nyawa dengan jepitnya.
Matsumura mengerjakan sebuah kuda-kuda siap bertarung di depan lembu jantan itu. Lembu itu melihatnya dengan penasaran. “Maafkan aku teman,” kata Matsumura. Kemudian dari dadanya, Matsumura mengeluarkan teriakan yang menakutkan, yang dikenal sebagai kiai, dan secepat kilat menusuk hidung lembu itu dengan jepit rambutnya.
Lembu itu berteriak, meronta dan menarik tali yang mengikatnya. Matanya liar. Kepala binatang itu memberontak berusaha menusuk Matsumura dengan tanduknya. Matsumura melihat tali yang mengikatnya. Masih kuat. Untung saja. Sebisa mungkin Matsumura menunggu dengan tenang. Akhirnya lembu itu tenang. Matsumura kembali melepaskan sebuah kiai yang kuat dan menusuk hidung lembu itu dengan jepitnya. Lembu itu kembali meronta dan mencoba untuk melawan. Matsumura menunggu binatang itu berhenti meronta. Lagi, dan lagi, dan lagi – kiai, tusuk, kiai, tusuk. Beberapa menit kemudian dia keluar dari kandang menghirup segarnya udara malam.
Hari berikutnya di festival, Matsumura sang kepala pengawal raja berjalan di sepanjang pinggir arena. Dia memeriksa penjagaan di pintu masuk dan menambah dua orang di belakang arena untuk mengawasi jika ada pengacau. Dengan matanya yang berpengalaman, dia mengawasi kerumunan penonton yang bisa saja menyakiti sang raja. Dia tidak melihat seorangpun. Orang-orang Okinawa sedang ingin berpesta. Bendera yang berwarna-warni menghiasi arena, dan bau sedap ikan panggang serta makanan lain memenuhi udara. Festival ini menjadi salah satu yang terbaik tahun ini. Orang-orang menyukai demonstrasi menunggang kuda, pertarungan dan kesempatan untuk makan dan bergembira. (Bersambung – Indoshotokan)
Artikel ini diterjemahkan dari buku “Legend of the Martial Arts Master” yang ditulis oleh Susan Lynn Peterson dengan judul aslinya”The General Fights a Bull”. Editing dan alih bahasa oleh Bachtiar Effendi.